Selasa, 06 Agustus 2013

Cadangan Karbon dan Agroforestri Di Sesaot



Oleh
Arya Ahsani Takwim

Saat ini perubahan iklim global menjadi isu sentral dalam kebijakan pembangunan termasuk dalam hubungan internasional dan merupakan isu besar dunia. Secara teoritik peningkatan suhu udara akibat gas rumah kaca adalah karena terjadinya gangguan fungsi atmosfer untuk melindungi bumi dari pendinginan dan pemanasan yang berlebihan (Kondrat’ev, 1973  dan  Rosenberg, 1983). Gas Rumah Kaca (GRK) yang penting diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O).  Dengan kontribusinya yang lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2 yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar (Hairiah et al,. 2006).
Pemanasan suhu bumi telah benar-benar terjadi, sebagai bukti adalah hasil pengamatan yang menunjukkan kenaikan suhu rata-rata udara dan lautan, mencairnya salju dan es, serta meningkatnya rata-rata tinggi permukaan air laut (Laporan Penilaian Keempat IPCC,2007).  Laporan IPCC (Intergovernmental Panel Of Climate Change) ini mengindikasikan antara tahun 1970-2004 telah terjadi kenaikan suhu  rata-rata antara 0,2 derajat celsius hingga 1 derajat celsius sehingga pemanasan global berpotensi menyebabkan permukaan air laut naik.  
Pertanyaannya adalah bagaimana formulasi  mitigasi perubahan lingkungan  yang efektif. Upaya mengatasi (mitigasi) pemanasan global ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan. Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis.  Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi.
Kondisi hutan yang terus mengalami penurunan (degradasi) baik secara kualitas ataupun kuantitas merupakan permasalahan yang dapat mengancam usaha-usaha dalam mengatasi efek rumah kaca.  Laju kerusakan hutan di Indonesia menurut FAO adalah 1,3 juta ha pertahun (Departemen Kehutanan, 1999). Alikodra (2002) mengemukakan bahwa kerusakan hutan Indonesia mencapai angka sebesar 500 ha per tahun antara tahun 1984-1997.  Model pemanfaatan lahan dibidang pertanian dan pengusahaan hutan yang banyak melibatkan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus melestarikan sumberdaya hutan (alam) adalah agroforestri.  Secara fisiologi agroforestri memiliki kemampuan untuk menyadap emisi di atmosfer terutama CO2 melalui proses fotosintesis, selain itu akan melepaskan  oksigen.
Menghitung cadangan karbon pada lahan agroforestri dengan keanekaragaman jenis pohon/tanaman yang berbeda-beda perlu dilakukan, karena dengan pola agroforestri yang berbeda tentu nilai cadangan karbon juga menjadi variatif. Atas dasar ini kami mencoba melakukan penelitian yang diharapkan dapat menjadi gambaran dan menjelaskan cadangan karbon yang ada diberbagai pola agroforestri di Wilayah Sesaot, Narmada Kabupaten Lombok Barat.
Metodologi dalam penelitian ini menggunakan metode deskritif. Sumber data (Data Primer dan Sekunder) dan jenis data (kualitatif dan kuantitatif). Dimana pengambilan plot contoh dilakukan dengan teknik purpose sampling yang dianggap representatif. Pengukuran pada penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan yakni tahap pertama dilapangan dan tahap kedua dilaboratorium.
Dari hasil penelitian diketahui ada 9 (sembilan) pola agroforestri yang dapat diidentifikasi di wilayah Sesaot Narmada Kabupaten Lombok Barat yakni agroforestri Aren, agroforestri Duren Sengon, agroforestri Sengon, agroforestri Pisang Kakao, agroforestri Randu Kakao, agroforestri Bambu, agroforestri Kemiri, agroforestri Cokelat dan agroforestri Rambutan, baik yang berlokasi dilahan milik maupun dihutan kemasyarakatan dengan tahun pembukaan lahan, kerapatan dan jenis vegetasi serta teknik pengelolaan lahan yang berbeda-beda.
Jumlah cadangan karbon dimasing-masing pola agroforestri adalah; pola Agroforestri Aren sebesar 135,28 ton per ha, agroforestri Sengon Duren meyimpan cadangan karbon cukup besar yakni 136,50 ton per ha, agroforestri Sengon menyimpan cadangan karbon cukup tinggi yakni sebesar 121,70 ton per ha.  Pola agroforestri Rambutan menyimpan karbon yakni sebesar 194,52 ton per ha, agroforestri Pisang Kakao menyimpan karbon sebesar 57,63 ton per ha, agroforestri Randu Kakao menyimpan cadangan karbon sebesar 70,86 ton per ha.  Pola agroforestri Bambu menyimpan cadangan karbon sebesar 77,18 ton per ha.  Pola agroforestri Kemiri meyimpan cadangan karbon sebesar 157,48 ton per ha.  Untuk  pola agroforestri Cokelat cadangan karbon sebesar 98,78 ton per ha. Adanya perbedaan jumlah cadangan karbon ini lebih disebabkan karena kerapatan jenis vegetasi, umur lahan, jenis vegetasi dan teknik pengelolaan lahan yang ada pada masing-masing pola agroforestri.
Sebagai saran, bahwa berbagai jenis buah-buahan (MPTs) yang ditanam dilahan milik dan hutan kemasyarakatan sangat berperan sebagai penyimpan karbon dan mampu memberikan sumbangan dalam mengurangi resiko peningkatan suhu atau pemasanasan global. Maka, keberadaannya tidak perlu dikhawatirkan dan penambahan jenis kayu-kayuan di dalam lahan kelola khususnya di HKm (hutan kemasyarakatan) sangat disarankan. Dengan demikian pendapatan masyarakat yang bersumber dari lahan kelola baik yang ada dilahan milik maupun dilahan hutan kemasyarakatan terus meningkat, disisi lain penyerapan karbon secara terus-menerus tetap berlangsung.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

About

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×