Oleh
Arya Ahsani Takwim
Saat ini perubahan iklim global menjadi isu
sentral dalam kebijakan pembangunan termasuk dalam hubungan
internasional dan
merupakan isu besar dunia. Secara
teoritik peningkatan suhu udara akibat gas
rumah kaca adalah karena terjadinya gangguan fungsi atmosfer untuk melindungi bumi dari pendinginan dan pemanasan yang berlebihan
(Kondrat’ev, 1973 dan Rosenberg, 1983). Gas Rumah Kaca (GRK) yang penting diperhitungkan
dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4)
dan nitrous oksida (N2O). Dengan
kontribusinya yang lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2
yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat
perhatian yang lebih besar (Hairiah et al,. 2006).
Pemanasan suhu bumi
telah benar-benar terjadi, sebagai bukti adalah hasil pengamatan yang
menunjukkan kenaikan suhu rata-rata udara dan lautan, mencairnya salju dan es,
serta meningkatnya rata-rata tinggi permukaan air laut (Laporan Penilaian
Keempat IPCC,2007). Laporan IPCC (Intergovernmental Panel Of Climate Change)
ini mengindikasikan antara tahun 1970-2004 telah terjadi kenaikan suhu rata-rata antara 0,2 derajat celsius hingga 1
derajat celsius sehingga pemanasan global berpotensi menyebabkan permukaan air
laut naik.
Pertanyaannya adalah
bagaimana formulasi mitigasi perubahan
lingkungan yang efektif. Upaya
mengatasi (mitigasi) pemanasan global
ini dapat dilakukan
dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan
penyerapan. Hutan berperan
dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya
matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2
dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam
bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin
tinggi.
Kondisi hutan yang terus mengalami penurunan
(degradasi) baik secara kualitas ataupun kuantitas merupakan permasalahan yang
dapat mengancam usaha-usaha dalam mengatasi efek rumah kaca. Laju kerusakan hutan di Indonesia menurut FAO adalah 1,3
juta ha pertahun (Departemen Kehutanan, 1999). Alikodra (2002) mengemukakan bahwa kerusakan hutan Indonesia mencapai angka sebesar 500 ha per tahun antara
tahun 1984-1997. Model pemanfaatan lahan dibidang pertanian dan
pengusahaan hutan yang banyak melibatkan masyarakat setempat untuk memenuhi
kebutuhan hidup sekaligus melestarikan sumberdaya hutan (alam) adalah
agroforestri. Secara
fisiologi agroforestri memiliki kemampuan untuk menyadap emisi di atmosfer terutama CO2 melalui proses fotosintesis, selain itu akan melepaskan
oksigen.
Menghitung cadangan
karbon pada lahan agroforestri dengan
keanekaragaman jenis pohon/tanaman yang berbeda-beda perlu dilakukan, karena dengan
pola agroforestri yang berbeda tentu nilai cadangan karbon juga menjadi variatif.
Atas dasar ini kami
mencoba melakukan penelitian yang
diharapkan dapat menjadi gambaran dan menjelaskan cadangan karbon yang ada
diberbagai pola agroforestri di Wilayah
Sesaot, Narmada Kabupaten Lombok Barat.
Metodologi dalam penelitian ini menggunakan metode deskritif. Sumber data (Data
Primer dan Sekunder) dan jenis data (kualitatif dan kuantitatif). Dimana
pengambilan plot contoh dilakukan dengan teknik purpose sampling yang dianggap
representatif. Pengukuran pada penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan
yakni tahap pertama dilapangan dan tahap kedua dilaboratorium.
Dari hasil penelitian diketahui ada 9 (sembilan) pola agroforestri yang
dapat diidentifikasi di wilayah Sesaot Narmada Kabupaten Lombok Barat yakni agroforestri Aren, agroforestri Duren Sengon, agroforestri Sengon,
agroforestri Pisang Kakao, agroforestri Randu Kakao, agroforestri Bambu,
agroforestri Kemiri, agroforestri Cokelat dan agroforestri Rambutan, baik yang
berlokasi dilahan milik maupun dihutan kemasyarakatan dengan tahun pembukaan lahan, kerapatan dan jenis
vegetasi serta teknik pengelolaan lahan yang berbeda-beda.
Jumlah cadangan karbon dimasing-masing pola agroforestri adalah; pola Agroforestri Aren sebesar 135,28
ton per ha, agroforestri Sengon Duren meyimpan
cadangan karbon cukup besar yakni 136,50 ton per ha, agroforestri Sengon menyimpan cadangan karbon cukup
tinggi yakni sebesar 121,70 ton per ha. Pola agroforestri Rambutan menyimpan karbon yakni
sebesar 194,52 ton per ha, agroforestri
Pisang Kakao menyimpan karbon sebesar 57,63 ton per ha, agroforestri Randu Kakao menyimpan cadangan karbon
sebesar 70,86 ton per ha. Pola agroforestri
Bambu menyimpan cadangan karbon sebesar 77,18 ton per ha. Pola agroforestri
Kemiri meyimpan cadangan karbon sebesar 157,48 ton per ha. Untuk pola agroforestri Cokelat cadangan karbon
sebesar 98,78 ton per ha. Adanya
perbedaan jumlah cadangan karbon ini lebih disebabkan karena kerapatan jenis
vegetasi, umur lahan, jenis vegetasi dan teknik pengelolaan lahan yang ada pada
masing-masing pola agroforestri.
Sebagai saran, bahwa berbagai
jenis buah-buahan (MPTs) yang ditanam dilahan milik dan
hutan kemasyarakatan sangat berperan sebagai penyimpan karbon dan mampu
memberikan sumbangan dalam mengurangi resiko peningkatan suhu atau pemasanasan
global. Maka,
keberadaannya tidak perlu dikhawatirkan dan penambahan jenis kayu-kayuan
di dalam lahan kelola khususnya di HKm (hutan kemasyarakatan) sangat disarankan.
Dengan demikian pendapatan masyarakat yang bersumber dari lahan kelola baik
yang ada dilahan milik maupun dilahan hutan kemasyarakatan terus meningkat,
disisi lain penyerapan karbon secara terus-menerus tetap berlangsung.
0 komentar:
Posting Komentar