Oleh
Arya Ahsani
Takwim
(Mahasiswa Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering
Universitas Mataram)
Isu strategis yang kini
sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi
yang berdampak pada kenaikan harga pangan dan energi, sehingga negara-negara
pengekspor pangan cenderung menahan produknya untuk dijadikan stok pangan.
Mengingat kondisi global tersebut juga terjadi di Indonesia, maka ke depan
Indonesia dituntut untuk terus meningkatkan ketahanan pangan agar mampu
menyediakan pangan yang cukup bagi penduduknya. Mengingat strategisnya
pembangunan pertanian, maka pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan pada
upaya meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga mampu untuk menggerakkan
perekonomian nasional melalui kontribusinya dalam penyediaan bahan pangan,
bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa
negara dan sumber pendapatan masyarakat serta berperan dalam pelestarian
lingkungan melalui praktik budidaya pertanian yang ramah lingkungan. Untuk
mencapai hal ini, arah kebijakan dan strategi yang ditempuh sampai 2011
diakumulasikan pada program pembangunan pertanian 2011. Sebagaimana yang tertuang
dalam kontrak kinerja Mentri Pertanian dengan Presiden RI dalam kabinet jilid
II. Point pertama yang penting di ingat adalah peningkatan produksi,
produktivitas dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada
berkelanjutan.
Hal ini mempunyai arti
penting yang sangat sangat strategis terutama bagi kesejahteraan padi. Peran
beras dalam perekonomian Indonesia masih cukup besar. Ada empat indikator yang
dapat digunakan untuk menilai peran tersebut yaitu (a) usaha tani padi
menghidupi sekitar 20 juta keluarga petani dan buruh tani, serta menjadi urat
nadi perekonomian pedesaan; (b) permintaan terhadap beras terus meningkat
seiring dengan perambahan jumlah penduduk karena belum berhasilnya program
diservisifikasi pangan; (c) produksi beras di Indonesia masih menujukkan
kecenderungan yang fluktuatif akibat bencana alam, serangan hama penyakit dan
kenaikan harga pupuk dan pepstisida; dan (d) usaha tani padi masih menjadi
andalan dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan.
Sejalan dengan hal itu, maka
dalam tulisan ini akan menguraikan bagaimana sesungguhnya dampak ekonomi
dari produksi dan produktivitas padi, berdasarkan data yang di olah dari berbagai sumber. Dampak ini akan di lihat dari berbagai sudut. Berdasarkan data yang
ada, perkembangan produksi, produktivitas dan luas panen padi pasca swasembada
beras dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007 menunjukkan angka yang
berfluktuasi, namun cenderung meningkat, yaitu dari 10.733.830 ha pada tahun
1994 menjadi 12.165.607 ha pada tahun 2007 dengan rata-rata laju pertumbuhan
luas lahan sekitar 0,94 persen per tahun. Untuk produksi padi dari tahun 1994
sampai tahun 2007 dengan laju pertumbuhan rata-rata produksi padi sekitar 1,48
persen per tahun. Produktivitas padi juga meningkat dari tahun 1994 sampai
tahun 2007, dengan laju pertumbuhan rata-rata produktivitas sekitar 0,56 persen
per tahun.
Berdasarkan data yang ada, di ketahui bahwa perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi sangat
rendah. Padahal diketahui program intensifikasi telah dilakukan. Hal
ini mungkin saja dapat terjadi disebabkan oleh degradasi lahan, terutama
pada sawah produktif yang selama ini
digunakan untuk intensifikasi usahatani padi.
Pada tahun 2008, ada
perbedaan data antara Departemen Pertanian (Deptan), dan Badan Pusat Statistik
(BPS), dan berdebat soal produksi padi nasional 2008. Deptan memprediksi
produksi padi nasional, hanya sekitar 54,433 juta ton. Hanya ada peningkatan
ratusan ribu ton dibanding produksi tahun 2007. Sebaliknya BPS mengatakan bahwa
produksi padi nasional 58,2 juta ton, berarti ada kenaikan 1 juta ton dari
produksi sebelumnya yang 57,03 juta ton. Beda pendapat dengan selisih angka
yang cukup besar ini, bisa beresiko fatal bagi kebijakan pangan nasional, baik
untuk impor, maupun ekspor beras. Dalam menghitung prediksi panen, Deptan
menggunakan luas areal tanam, dari tingkat kecamatan, melalui Dinas Pertanian
Kabupatan. BPS, sebenarnya juga punya aparat sampai dengan tingkat kecamatan,
untuk menghitung beberapa indeks, termasuk luas areal tanam padi. Dinas
Pertanian di tingkat kabupaten, tidak berurusan dengan statistik, melainkan
peningkatan produksi, melalui penyuluhan.
Logikanya, angka-angka
yang ditampilkan oleh BPS lebih akurat, dibanding angka-angka yang ditampilkan
oleh Deptan. Tetapi peningkatan angka produksi yang demikian hebat, tentu
meragukan banyak pihak. Sebab berdasarkan data resmi FAO selama lima tahun
terakhir, produksi padi nasional Indonesia tercatat 50,460,800 (2001),
51.489.700 (2002), 52.137.600 (2003), 54.088.470 (2004), dan 53.984.590 ton
(2005). Dari 2001 sampai dengan 2005, kenaikan produksi padi Indonesia
rata-rata hanya 1,66%. Dengan patokan tersebut, logikanya produksi padi
nasional tahun 2008 memang bisa mencapai 56,7 juta ton.
Dengan menggunakan logika
di atas, perkiraan angka produksi beras nasional pada tahun 2008 hanya sekitar
56,7 juta ton. Hingga angka produksi gabah hasil perhitungan BPS
yang mencapai 58,2 juta ton, pada tahun 2008 ini, masih terlalu tinggi. Dengan
melihat angka produksi selama 2001 – 2005 versi FAO, maka angka produksi versi
Deptan lebih bisa dipercaya. Sebab pada tahun 2005, produksi gabah 53,984 juta
ton, justru mengalami penurunan, dibanding produksi nasional 2004 yang mencapai
54,088 juta ton.
Peningkatan atau
penurunan produksi gabah nasional di Indonesia, selalu masih disebabkan oleh
faktor alam. Baik berupa gangguan cuaca, maupun serangan hama serta penyakit
tanaman. Faktor banjir dan kekeringan, merupakan penyebab gagal panen paling
besar. Penurunan angka produksi gabah nasional tahun 2005, terutama disebabkan
oleh faktor banjir, dan kekeringan. Hama yang paling banyak menyerang tanaman
padi adalah wereng, walang sangit, dan tikus. Penyakit padi yang paling ganas
adalah tungro. Produktivitas padi Indonesia, sebenarnya cenderung terus
menurun. Peningkatan produktivitas melalui pencetakan sawah baru, terutama di
luar Jawa, tidak pernah bisa mengimbangi alih fungsi lahan sawah untuk
keperluan non pertanian, terutama di Jawa.
Pada tahun 2010 dikaitkan
dengan produksi beras dan inflasi,
terjadi pergerakan
inflasi antara tahun 2009 dan 2010 menunjukkan hal yang berlawanan. Tahun 2009
trend laju inflasi menurun sementara tahun 2010 trend laju inflasi meningkat.
Tahun 2009 dimulai dengan inflasi yang cukup tinggi yakni 9.17% namun di akhir
tahun tingkat inflasi tersebut dapat turun secara signifikan menjadi 2.78%.
Sementara untuk tahun 2010, inflasi dimulai dari level yang rendah yakni 3,72
%, namun ditutup dengan level inflasi yang lebih tinggi yaitu 6.96%. Inflasi
sebesar 6,96% tergolong tinggi. Penyebab tingginya inflasi didominasi oleh
tekanan bahan pangan yang antara lain disebabkan terkendalanya pencapaian
target produksi pangan akibat anomali cuaca. Kondisi cuaca yang tidak normal
mengakibatkan menurunnya pasokan beberapa komoditas pertanian seperti cabe
merah dan cabe rawit sehingga tidak dapat menahan lonjakan harga komoditas
tersebut. Selain itu, kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) di
pasar dunia pada akhir tahun 2010 mendorong kenaikan harga minyak goreng
domestik dan menjadi salah satu penyumbang inflasi. Dengan perkembangan
tersebut, inflasi kelompok volatile food pada Desember 2010 mencapai 3,29%
(mtm) atau 17,74% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan bulan sebelumnya yang
sebesar 1,69% (mtm) atau 13,77% (yoy) (Tinjauan Kebijakan Moneter BI-Januari
2011).
Berdasarkan data yang ada juga dapat di lihat inflasi kelompok bahan pangan pada bulan Desember 2010 mencapai 2,81%.
Keadaan ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi dari inflasi bahan pangan itu,
beras merupakan komoditas terbesar penyumbang inflasi, yakni sebesar 1,29% dan komoditi terbesar penyumbang inflasi tahun 2010 adalah beras (1,29%) dan
dilanjutkan dengan tarif listrik sebesar 0,36 persen dan cabai merah sebesar
0,32 persen. Tingkat inflasi beras yang tinggi akan menggerus daya beli
masyarakat dikarenakan beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.
Keadaan ini selanjutnya akan meningkatkan garis batas kemiskinan sehingga
berpotensi untuk meningkatkan jumlah masyarakat miskin. Kenaikan harga
beras salah satu penyebab mahalnya harga beras adalah menurunnya pertumbuhan
produksi padi antara lain akibat imbas dari perubahan cuaca. Perubahan cuaca
tersebut juga telah membuat negara pengekspor beras utama dunia yaitu Vietnam
dan Thailand melakukan pengetatan ekspor beras. Meskipun kedua negara ini
mengalami surplus beras, mereka telah mengumumkan bahwa akan membatasi ekspor
beras terkait anomali cuaca yang melanda. Hal ini menjadi sinyal kuat bagi Indonesia
bahwa pengendalian harga beras tidak dapat diandalkan melalui impor. Berikut
pergerakan harga beras domestik tahun 2010:
Mengandalkan
pengamanan stok beras kepada impor merupakan problematika tersendiri. Misalnya,
pada saat terjadi perubahan cuaca seperti sekarang ini, membuat negara
eksportir beras mengamankan cadangan berasnya sendiri dengan menutup keran
eskpor. Dengan demikian Indonesia tidak lagi dapat menggantungkan diri pada
instrumen impor. Tak ada pilihan lain, Indonesia harus meningkatkan
produktivitas beras dalam negeri. Salah satunya dengan memberikan insentif dan
fasilitas tambahan kepada petani agar petani lebih bergairah, terutama jaminan
harga jual padi pada musim panen. Indonesia sebetulnya memiliki kisah sukses
dalam meningkatkan produksi beras nasional pada tahun 2007, 2008 dan 2009. Namun demikian,
turunnya tingkat
pertumbuhan produksi padi tahun 2010 antara lain, berkemungkinan disebabkan
oleh:
· Mengendurnya
komitmen untuk peningkatan produksi yang selama ini diimplementasikan didalam
GP2BN. Kini GP2BN sudah tidak terdengar lagi gaungnya bahkan di website
Kementerian Pertanian gerakan ini sudah tidak ditemukan sejak tahun 2009.
· Tim monitoring
yang anggotanya terdiri dari berbagai instansi seperti Ditjen Tanaman Pangan,
BPS, Bulog, BPKP, Setwapres, PT.PUSRI (pupuk), PT. Sang Hyang Sri (benih) sejak
tahun 2009 sudah tidak melakukan kegiatan monitoring. Tim monitoring terpadu
ini selain berperan melakukan pemantauan di sentra-sentra produksi sekaligus
juga berperan menyelesaikan permasalahan di lapangan seperti pupuk yang tidak
sampai kepada petani atau benih unggul yang belum tersedia maupun permasalahan
hambatan administrasi dalam pengadaan benih.
· Faktor
perubahan cuaca yang hampir sepanjang tahun ditandai oleh curah hujan yang
cukup banyak mengakibatkan menurunnya produksi padi lebak, meningkatnya
serangan hama tanaman dan rusaknya tanaman padi akibat terendam banjir serta
sulitnya mengeringkan gabah hasil panen.
0 komentar:
Posting Komentar