Rabu, 07 Agustus 2013

Hutan Kemasyarakatan


Kebijakan HKm Berubah dari waktu ke waktu:
(Sebuah Penelusuran)

Oleh 
Arya Ahsani Takwim

Kebijakan mengenai HKm berubah dari waktu ke waktu. Pada tingkat nasional, kebijakan mengenai HKm dimulai sejak tahun 1995 dengan dikeluarkannya beberapa surat keputusan menteri kehutanan dan peraturan menteri kehutanan dan perkebunan. Selanjutnya, kebijakan tersebut direspon oleh pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten dengan terbitnya peraturan daerah dan surat keputusan bupati. Secara keseluruhan perubahan kebijakan pemerintah tentang HKm mengarah pada perubahan konsep/definisi HKm, baik hak dan kewajiban masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan HKm (Dipokusumo 2011).
Dari gambaran informasi kebijakan diatas, tentang HKm sampai tahun 2011. Pada tingkat nasional dapat dilihat, bahwa telah terbit empat surat keputusan menteri kehutanan dan perkebunan, satu peraturan pemerintah dan satu peraturan menteri kehutanan. Sementara kebijakan di tingkat provinsi berupa terbitnya satu peraturan daerah (perda). Di tingkat kabupaten sendiri telah terbit dua peraturan daerah (perda) dan satu surat keputusan, dimana isi dari kebijakan HKm provinsi dan kabupaten umumnya merupakan turunan dari kebijakan HKm ditingkat Nasional. Perubahan konsep mengarah pada penegasan bahwa HKm merupakan hutan negara, sedangkan perubahan hak meliputi perubahan waktu pengelolaan dan mekanisme dari pengelolaan. Sementara itu perubahan kewajiban meliputi perlindungan kawasan dan mekanisme pembayaran insentif atas pengelolaan kawasan HKm. Perubahan kebijakan pemerintah sesungguhnya sebagai langkah kearah perbaikan dan penyempurnaan isi sehingga terjadi konsistensi antara maksud dan tujuan tentang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan dikaitkan dengan implementasinya. Perubahan tersebut semakin memperlihatkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin yang berdomisili disekitar kawasan hutan.
SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menhut No.677/Kpts-II/1998 jo. No.865/Kpts-II/1999, SK Menhut No.31/Kpts-II/2001, hingga saat ini masih lebih sebagai wacana orang-orang pusat (Ditjen RLPS Dephut RI) ketimbang sebagai wacana Pemda. Gambaran ini terlihat ketika SK ini belum secara inheren masuk dalam kesadaran dan kebijakan yuridis pemerintah kabupaten.
Terlepas dari itu, melihat SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 tentang pedoman hutan kemasyarakatan, mendefinisikan HKm sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat. Artinya bahwa, HKm dilaksanakan di hutan dengan tujuan lebih ditekankan pada pelibatan masyarakat, sedangkan di dalam SK Menhut No.677/Kpts-II/1998 jo. No.865/Kpts-II/1999, SK Menhut No.31/Kpts-II/2001 sampai dengan terbitnya PP No.6 tahun 2007 dan Permenhut P.37 mendefinisikan HKm sebagai hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Definisi HKm ini lebih menekankan pada tujuan pemberdayaan masyarakat. Dalam definisi tersebut juga telah menegaskan status hutan bahwa HKm termasuk dalam hutan negara yang areal kerjanya dapat ditetapkan di hutan lindung dan hutan produksi. Sekilas terlihat adanya kelemahan pada SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 dalam menjelaskan definisi HKm yang dapat memberikan peluang di dalam perubahan status lahan (hutan). Penegasan areal kerja HKm pada kawasan hutan negara pada SK Menhut No.677/Kpts-II/1998, menjadi penting untuk menghindari adanya penyerobotan kawasan hutan dan perubahan status lahan oleh pengelola HKm.
Dalam hal jangka waktu pengelolaan kawasan, berdasarkan SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 bahwa jangka waktu pengelolaan HKm hanya 5 tahun dan dapat diperpanjang, sementara berdasarkan SK Menhut Nomor:677/Kpts-II/1998; SK Menurut Nomor 31/Kpts-II/2001 dan sampai dengan Peraturan Pemerintah No.6/2007; P.37/Menhut-II/2007 bahwa jangka waktu pengelolaan HKm selama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Perubahan dari jangka waktu pengelolaan ini, memperlihatkan kesungguhan pemerintah untuk menjamin kepastian hak kelola masyarakat di dalam memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu serta jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya.
Kemudian terjadi juga perkembangan hak yang diberikan kepada masyarakat pengelola HKm dalam bentuk izin pemanfaatan hasil hutan. SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 hanya memberikan hak terbatas pada pemanfaatan kawasan berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan. Selanjutnya terjadi perkembangan dengan memberikan hak yang lebih luas pada pemanfaatan kawasan HKm melalui SK Menhut No.677/Kpts-II/1998, Peraturan Pemerintah No.6/2007 dan P.37/Menhut-II/2007, melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HKm (IUPHHK-HKm) yang terbatas pada hutan produksi.
Meskipun mendapat ruang di dalam Peraturan Perundang-undangan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu pada HKm, namun sampai saat ini belum ada masyarakat pengelola HKm yang dapat memanen kayu dari HKm. Padahal fakta di lapangan (HKm Santong) menunjukkan bahwa kayu yang ada di HKm saat ini secara keseluruhan sudah layak tebang. Hal ini bukan dikarenakan kemampuan teknologi, pendanaan dan ketidakefesienan lahan kelola masyarakat tetapi lebih dikarenakan adanya klausul pada Permenhut P.37/2007 dimana hasil hutan kayu (HHK) yang dapat dipanen merupakan hasil dari penanaman masyarakat sendiri, sehingga menyebabkan polemik baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Hal ini kemudian memunculkan wacana baru di tengah masyarakat bahwa pelibatan masyarakat dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan (utamanya kayu), hanya dikenal dalam terminologi izin pemanfaatan kayu di atas tanah milik (IPKTM). Kebijakan yuridis mengenai pemberian konsesi pengelolaan/pemanfaatan hutan yang menjamin nuansa kemasyarakatan nyaris seluruhnya tak mengandung makna sadar untuk mendorong proses optimalisasi akses pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

About

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×