(Sebuah Penelusuran)
Oleh
Arya Ahsani Takwim
Kebijakan mengenai HKm
berubah dari waktu ke waktu. Pada tingkat nasional, kebijakan mengenai HKm
dimulai sejak tahun 1995 dengan dikeluarkannya beberapa surat keputusan menteri
kehutanan dan peraturan menteri kehutanan dan perkebunan. Selanjutnya,
kebijakan tersebut direspon oleh pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten
dengan terbitnya peraturan daerah dan surat keputusan bupati. Secara
keseluruhan perubahan kebijakan pemerintah tentang HKm mengarah pada perubahan
konsep/definisi HKm, baik hak dan kewajiban masyarakat yang terlibat dalam
pengelolaan HKm (Dipokusumo 2011).
Dari
gambaran informasi kebijakan diatas, tentang HKm sampai tahun 2011. Pada
tingkat nasional dapat dilihat, bahwa telah terbit empat surat keputusan menteri
kehutanan dan perkebunan, satu peraturan pemerintah dan satu peraturan menteri kehutanan.
Sementara kebijakan di tingkat provinsi berupa terbitnya satu peraturan daerah
(perda). Di tingkat kabupaten sendiri telah terbit dua peraturan daerah (perda)
dan satu surat keputusan, dimana isi dari kebijakan HKm provinsi dan kabupaten
umumnya merupakan turunan dari kebijakan HKm ditingkat Nasional.
Perubahan konsep mengarah pada penegasan bahwa HKm
merupakan hutan negara, sedangkan perubahan hak meliputi perubahan waktu
pengelolaan dan mekanisme dari pengelolaan. Sementara itu perubahan kewajiban
meliputi perlindungan kawasan dan mekanisme pembayaran insentif atas
pengelolaan kawasan HKm. Perubahan kebijakan pemerintah sesungguhnya sebagai
langkah kearah perbaikan dan penyempurnaan isi sehingga terjadi konsistensi
antara maksud dan tujuan tentang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
hutan dikaitkan dengan implementasinya. Perubahan tersebut semakin
memperlihatkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin yang
berdomisili disekitar kawasan hutan.
SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 yang kemudian diperbaharui
dengan SK Menhut No.677/Kpts-II/1998 jo.
No.865/Kpts-II/1999, SK Menhut No.31/Kpts-II/2001, hingga saat ini masih
lebih sebagai wacana orang-orang pusat (Ditjen RLPS Dephut RI) ketimbang
sebagai wacana Pemda. Gambaran ini terlihat ketika SK ini belum secara inheren masuk dalam kesadaran dan
kebijakan yuridis pemerintah kabupaten.
Terlepas dari itu, melihat SK Menhut No.622/Kpts-II/1995
tentang pedoman hutan kemasyarakatan, mendefinisikan HKm sebagai sistem pengelolaan
hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat. Artinya bahwa,
HKm dilaksanakan di hutan dengan tujuan lebih ditekankan pada pelibatan
masyarakat, sedangkan di dalam SK Menhut No.677/Kpts-II/1998 jo.
No.865/Kpts-II/1999, SK Menhut No.31/Kpts-II/2001 sampai dengan terbitnya PP
No.6 tahun 2007 dan Permenhut P.37 mendefinisikan HKm sebagai hutan negara
dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat
setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Definisi HKm ini lebih menekankan
pada tujuan pemberdayaan masyarakat. Dalam definisi tersebut juga telah
menegaskan status hutan bahwa HKm termasuk dalam hutan negara yang areal
kerjanya dapat ditetapkan di hutan lindung dan hutan produksi. Sekilas terlihat adanya
kelemahan pada SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 dalam menjelaskan definisi HKm
yang dapat memberikan peluang di dalam perubahan status lahan (hutan).
Penegasan areal kerja HKm pada kawasan hutan negara pada SK Menhut No.677/Kpts-II/1998,
menjadi penting untuk menghindari adanya penyerobotan kawasan hutan dan
perubahan status lahan oleh pengelola HKm.
Dalam hal jangka waktu pengelolaan kawasan, berdasarkan
SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 bahwa jangka waktu pengelolaan HKm hanya 5 tahun
dan dapat diperpanjang, sementara berdasarkan SK Menhut Nomor:677/Kpts-II/1998;
SK Menurut Nomor 31/Kpts-II/2001 dan sampai dengan Peraturan Pemerintah
No.6/2007; P.37/Menhut-II/2007 bahwa jangka waktu pengelolaan HKm selama 35
tahun dan dapat diperpanjang. Perubahan dari jangka waktu pengelolaan ini,
memperlihatkan kesungguhan pemerintah untuk menjamin kepastian hak kelola
masyarakat di dalam memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu serta
jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya.
Kemudian terjadi juga perkembangan hak yang diberikan
kepada masyarakat pengelola HKm dalam bentuk izin pemanfaatan hasil hutan. SK
Menhut No.622/Kpts-II/1995 hanya memberikan hak terbatas pada pemanfaatan
kawasan berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan.
Selanjutnya terjadi perkembangan dengan memberikan hak yang lebih luas pada
pemanfaatan kawasan HKm melalui SK Menhut No.677/Kpts-II/1998, Peraturan
Pemerintah No.6/2007 dan P.37/Menhut-II/2007, melalui pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HKm (IUPHHK-HKm) yang terbatas pada hutan
produksi.
Meskipun mendapat ruang di dalam Peraturan
Perundang-undangan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu pada HKm, namun sampai
saat ini belum ada masyarakat pengelola HKm yang dapat memanen kayu dari HKm.
Padahal fakta di lapangan (HKm Santong) menunjukkan bahwa kayu yang ada di HKm
saat ini secara keseluruhan sudah layak tebang. Hal ini bukan dikarenakan
kemampuan teknologi, pendanaan dan ketidakefesienan lahan kelola masyarakat
tetapi lebih dikarenakan adanya klausul pada Permenhut P.37/2007 dimana hasil
hutan kayu (HHK) yang dapat dipanen merupakan hasil dari penanaman masyarakat
sendiri, sehingga menyebabkan polemik baik di tingkat nasional maupun di
tingkat lokal. Hal ini kemudian memunculkan wacana baru di tengah masyarakat
bahwa pelibatan masyarakat dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan
(utamanya kayu), hanya dikenal dalam terminologi izin pemanfaatan kayu di atas
tanah milik (IPKTM). Kebijakan yuridis mengenai pemberian konsesi pengelolaan/pemanfaatan
hutan yang menjamin nuansa kemasyarakatan nyaris seluruhnya tak mengandung
makna sadar untuk mendorong proses optimalisasi akses pemanfaatan sumber daya
hutan oleh masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar