Selasa, 06 Agustus 2013

Kearifan Lokal

Pengelolaan Sumberdaya Air Berbasis Kearifan Lokal
  
Oleh
Arya Ahsani Takwim
  
Sumberdaya air merupakan karunia sekaligus amanah yang harus dijaga. Air merupakan benda yang sangat vital untuk keberlajutan makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Karenanya, sumberdaya air dikuasai oleh negara yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini dengan jelas dituliskan dalam UUD 1954 pasal 33 ayat (3). Pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya aktivitas manusia dan laju pencemaran air yang tinggi telah mengakibatkan air semakin terbatas.

Membangun satu pemahaman baru mengenai konsepsi pengelolaan sumberdaya air dengan berkaca pada kondisi saat ini, telah menggugah kesadaran penulis untuk mulai menumbuhkembangkan yang disebut dengan pengetahuan lokal. Terutama untuk menjawab pengelolaan sumberdaya air. Kondisi defisit sumberdaya air di pulau Lombok saat ini sedang berlangsung. Menurut Laporan WWF (2008) ) Indeks Ketersediaan Air (IKA) Pulau Lombok mencapai 110 persen dan masuk dalam golongan ‘sangat kritis’ dengan kualitas air berada pada kategori tercemar ringan hingga berat. Defisit tengah mengkawatirkan bila melihat secara kolektif dari aspek kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air. Ini berarti, potensi dan pemanfaatan air yang ada saat ini harus dapat dikelola secara tepat. Bila tidak, maka tentu akan jadi bencana di masa mendatang.

Pengelolaan sumberdaya air hanya dapat dilakukan secara optimal jika sumberdaya ada dalam kuantitas, kualitas dan kontinuitas yang memadai. Banyak kegiatan-kegiatan konservasi air yang digalakkan banyak pihak dalam rangka menjaga dan melestarikan ketersediaan air seperti Permata oleh Pemerintah Provinsi dan Jasa Lingkungan di Lombok Barat. Namun, belum menunjukkan hasil nyata. Tantangan sesungguhnya terletak pada sejauh mana implementasi kegiatan konservasi ini dilakukan sehingga aksi bersama konservasi sumberdaya air dapat terlaksana dan menunjukkan hasil signifikan.

Sejalan dengan uraian diatas, maka penulis mencoba mengangkat pengetahuan lokal dalam budaya suku sasak dan erat kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya air yang terbukti dapat mengoptimalkan air ditengah keterbatasan yang ada. Namun, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat sasak masih cukup kental memegang nilai-nilai budaya, adat istiadat meski zaman terus berkembang. Salah satunya dapat kita jumpai di Desa Bayan. Desa yang berada di kaki Gunung Rinjani, disisi barat daya Pulau Lombok. Kondisi lahan yang subur mengakibatkan sektor pertanian menjadi andalan mata pencaharian utama penduduk. Secara kultur, ciri feodalistik sangat terlihat. Dalam hubungannya dengan sumberdaya alam, masyarakat membuat awiq-awiq (aturan lokal) mengenai pola hubungan masyarakat dengan alam. Bentuk aturan tersebut berisi larangan dan sanksi. Seperti larangan melakukan eksploitasi untuk kepentingan pribadi. Hutan hanya sebagai sumber bahan baku untuk keperluan perbaikan rumah adat ataupun masjid kuno.  Dalam menjaga hutan yang oleh masyarakat Bayan disebut sebagai hutan adat dan hutan tutupan desa. Terdapat petugas-petugas khusus (perumbaq) yang ditempatkan di dalam hutan, tinggal menetap di dalam hutan dan tidak boleh keluar selama masa jabatannya. Petugas lainnya adalah pemangku yang bertugas untuk menegakkan sanksi dari setiap pelanggaran yang terjadi dan bertugas juga untuk bertanggungjawab bila terjadi kerusakan hutan. Dalam perkembangaanya, penegakan sanksi adat sangat ketat dan ini di dukung oleh kesadaran serta kepatuhan masyarakat.
Di antara hutan adat yang dikelola oleh masyarakat adat Bayan, terdapat kelompok hutan (pawang Mendala dan pawang Bangket Baya) yang berfungsi sebagai sumber air utama bagi pertanian masyarakat. Fungsi vital hutan sebagai sumber mata air utama sangat disadari oleh masyarakat (Witardi, 2004). Kesadaran ini ditunjukkan dengan karakteristik prilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya air yang keluar dari hutan.
Dalam pemanfaatan sumberdaya air, petani sawah memiliki kewajiban untuk membayar (payment) air dalam bentuk ketan yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan ritual perlindungan sumberdaya hutan dan nafkah hidup perumbaq. Pembayaran ini dapat digolongkan menjadi dua komponen, yakni pertama pengeluaran (Tawa’an) yang dikeluakan sesaat setelah panen dalam bentuk 1 ikat padi lokal (padi bulu yang berisi 5 kg beras). Pengeluaran ini merupakan pertanda bahwa hasil panen sudah dapat dikonsumsi ataupun dibagikan kepada kerabat serta sanak-keluarga. Pengeluaran ini oleh petani sawah diserahkan kepada penjaga hutan disertai dengan sirih dan buah pinang yang menandakan bahwa prosesi ini berdimensi adat. Kedua, pengeluaran Pelemer yang akan digunakan untuk ritual ungkapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa sehingga pada saat yang datang bisa memberikan hal yang sama dengan yang diterima saat ini. Pengeluaran 1 ikat padi bulu dan 1 ikat padi ketan, akan dipergunakan untuk acara ritual adat menjelang musim tanam berikutnya, sehingga pengeluaran (payment) untuk ritual adat ini dapat diartikan sebagai ungkapan syukur karena alam telah memberikan berkat pada pertumbuhan padi yang sehat dari akar hingga berbuah serta dapat di makan oleh manusia. Ritual ini juga sesungguhnya dijadikan sebagai sarana untuk saling membina kepatuhan diantara pengguna air (petani sawah).
Dari kearifan lokal yang ada di suku sasak ini, ada dua esensi yang hendak disampaikan oleh penulis. Pertama, bahwa kedua jenis pengeluaran (payment) diatas terkait dengan pola tanam padi, yang berarti berhubungan dengan pemakaian/pengelolaan sumberdaya air. Dari segi besaran pengeluaran, tidak tergantung pada luasan dan model kepemilikan lahan sawah. Baik sebagai penggarap, penyewa atau pemilik). Dengan demikian setiap petani sawah yang mengambil manfaat atas air yang bersumber dari sumber mata air utama berkewajiban mengeluarkan tawa’an dan pelemer.
Kedua, tinggi rendahnya volume air memang ditentukan oleh besarnya curah hujan. Karenanya tanaman padi yang ditanam adalah padi lokal yang berupa padi bulu. Jenis padi inilah yang kemudian dikelola oleh masyarakat secara ritual adat. Dengan demikian, pengeluaran (payment) hanya diberlakukan pada musim tanam tertentu dan pada mata air tertentu pula (yakni mata air Mendala dan Bangkat Bayan).
KESIMPULAN
Dari tulisan ini dapat dirumuskan beberapa gagasan atau rekomendasi dan ageda-agenda strategis yang merupakan sebuah tawaran untuk pengembangan pengelolaan sumberdaya air di masa depan. Agenda tersebut antara lain:
·    Upaya mewujudkan sistem pengelolaan sumberdaya air yang sustainable perlu di dukung oleh adanya kesepakatan antara penerima manfaat langsung dengan Pemerintah maupun unit manajemen pengelola terutama pada sumber mata air yang berada di kawasan hutan negara.
·    Pengeluaran (payment) hanya diberlakukan pada hal-hal tertentu dan pada mata air tertentu pula yang disepakati sehingga pengelolaan air lebih terfokus.
·     Keberhasilan masyarakat yang sudah tercapai perlu ditingkatkan pada tingkat kebijakan, baik di desa maupun kabupaten antara lain pihak swasta/pengusaha yang relavan wajib berkontribusi dalam kegiatan konservasi.
DAFTAR PUSTAKA
Witardi. 2004. Jasa Lingkungan: bersama kita membangun lingkungan!. Buletin Volume – I. PSDAL – LP3ES. Jakarta.

WWF. 2008. Studi Analisis Hidrologis dan Perubahan Tutupan Lahan (land use land cover change) Kawasan Gunung Rinjani, Lombok. WWF bekerjasama dengan Pemda NTB, BPK Mataram, BPDAS Dodokan Moyosari.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

About

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×