Pengelolaan
Sumberdaya Air Berbasis Kearifan Lokal
Oleh
Arya
Ahsani Takwim
Sumberdaya
air merupakan karunia sekaligus amanah yang harus dijaga. Air merupakan benda
yang sangat vital untuk keberlajutan makhluk hidup yang ada di muka bumi ini.
Karenanya, sumberdaya air dikuasai oleh negara yang dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini dengan jelas dituliskan dalam UUD
1954 pasal 33 ayat (3). Pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya aktivitas
manusia dan laju pencemaran air yang tinggi telah mengakibatkan air semakin
terbatas.
Membangun satu pemahaman baru mengenai
konsepsi pengelolaan sumberdaya air dengan berkaca pada kondisi saat ini, telah
menggugah kesadaran penulis untuk mulai menumbuhkembangkan yang disebut dengan
pengetahuan lokal. Terutama untuk menjawab pengelolaan sumberdaya air. Kondisi
defisit sumberdaya air di pulau Lombok saat ini sedang berlangsung. Menurut
Laporan WWF (2008) ) Indeks Ketersediaan Air (IKA) Pulau Lombok mencapai
110 persen dan masuk dalam golongan ‘sangat kritis’ dengan kualitas air berada
pada kategori tercemar ringan hingga berat. Defisit tengah mengkawatirkan bila
melihat secara kolektif dari aspek kuantitas, kualitas dan keberlanjutan
ketersediaan air. Ini berarti, potensi dan pemanfaatan air yang ada saat ini
harus dapat dikelola secara tepat. Bila tidak, maka tentu akan jadi bencana di
masa mendatang.
Pengelolaan sumberdaya air hanya dapat
dilakukan secara optimal jika sumberdaya ada dalam kuantitas, kualitas dan
kontinuitas yang memadai. Banyak kegiatan-kegiatan konservasi air yang
digalakkan banyak pihak dalam rangka menjaga dan melestarikan ketersediaan air
seperti Permata oleh Pemerintah Provinsi dan Jasa Lingkungan di Lombok Barat.
Namun, belum menunjukkan hasil nyata. Tantangan sesungguhnya terletak pada
sejauh mana implementasi kegiatan konservasi ini dilakukan sehingga aksi
bersama konservasi sumberdaya air dapat terlaksana dan menunjukkan hasil
signifikan.
Sejalan dengan uraian diatas, maka penulis
mencoba mengangkat pengetahuan lokal dalam budaya suku sasak dan erat kaitannya
dengan pengelolaan sumberdaya air yang terbukti dapat mengoptimalkan air
ditengah keterbatasan yang ada. Namun, dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat. Masyarakat sasak masih cukup kental memegang nilai-nilai
budaya, adat istiadat meski zaman terus berkembang. Salah satunya dapat kita
jumpai di Desa Bayan. Desa yang berada di kaki Gunung Rinjani, disisi barat
daya Pulau Lombok. Kondisi lahan yang subur mengakibatkan sektor pertanian
menjadi andalan mata pencaharian utama penduduk. Secara kultur, ciri
feodalistik sangat terlihat. Dalam hubungannya dengan sumberdaya alam,
masyarakat membuat awiq-awiq (aturan lokal) mengenai pola
hubungan masyarakat dengan alam. Bentuk aturan tersebut berisi larangan dan
sanksi. Seperti larangan melakukan eksploitasi untuk kepentingan pribadi. Hutan
hanya sebagai sumber bahan baku untuk keperluan perbaikan rumah adat ataupun
masjid kuno. Dalam menjaga hutan yang oleh masyarakat Bayan disebut
sebagai hutan adat dan hutan tutupan desa. Terdapat petugas-petugas khusus
(perumbaq) yang ditempatkan di dalam hutan, tinggal menetap di dalam hutan dan
tidak boleh keluar selama masa jabatannya. Petugas lainnya adalah pemangku yang
bertugas untuk menegakkan sanksi dari setiap pelanggaran yang terjadi dan bertugas
juga untuk bertanggungjawab bila terjadi kerusakan hutan. Dalam
perkembangaanya, penegakan sanksi adat sangat ketat dan ini di dukung oleh
kesadaran serta kepatuhan masyarakat.
Di antara hutan adat yang dikelola oleh
masyarakat adat Bayan, terdapat kelompok hutan (pawang Mendala dan pawang
Bangket Baya) yang berfungsi sebagai sumber air utama bagi pertanian
masyarakat. Fungsi vital hutan sebagai sumber mata air utama sangat disadari
oleh masyarakat (Witardi, 2004). Kesadaran ini ditunjukkan dengan karakteristik
prilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya air yang keluar dari hutan.
Dalam pemanfaatan sumberdaya air, petani
sawah memiliki kewajiban untuk membayar (payment) air dalam
bentuk ketan yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan ritual perlindungan
sumberdaya hutan dan nafkah hidup perumbaq. Pembayaran ini dapat digolongkan
menjadi dua komponen, yakni pertama pengeluaran (Tawa’an) yang dikeluakan
sesaat setelah panen dalam bentuk 1 ikat padi lokal (padi bulu yang berisi 5 kg
beras). Pengeluaran ini merupakan pertanda bahwa hasil panen sudah dapat
dikonsumsi ataupun dibagikan kepada kerabat serta sanak-keluarga. Pengeluaran
ini oleh petani sawah diserahkan kepada penjaga hutan disertai dengan sirih dan
buah pinang yang menandakan bahwa prosesi ini berdimensi adat. Kedua,
pengeluaran Pelemer yang akan digunakan untuk ritual ungkapan
terima kasih kepada Yang Maha Kuasa sehingga pada saat yang datang bisa
memberikan hal yang sama dengan yang diterima saat ini. Pengeluaran 1 ikat padi
bulu dan 1 ikat padi ketan, akan dipergunakan untuk acara ritual adat menjelang
musim tanam berikutnya, sehingga pengeluaran (payment) untuk
ritual adat ini dapat diartikan sebagai ungkapan syukur karena alam telah
memberikan berkat pada pertumbuhan padi yang sehat dari akar hingga berbuah
serta dapat di makan oleh manusia. Ritual ini juga sesungguhnya dijadikan
sebagai sarana untuk saling membina kepatuhan diantara pengguna air (petani
sawah).
Dari kearifan lokal yang ada di suku sasak
ini, ada dua esensi yang hendak disampaikan oleh penulis. Pertama, bahwa kedua
jenis pengeluaran (payment) diatas terkait dengan pola tanam
padi, yang berarti berhubungan dengan pemakaian/pengelolaan sumberdaya air.
Dari segi besaran pengeluaran, tidak tergantung pada luasan dan model kepemilikan
lahan sawah. Baik sebagai penggarap, penyewa atau pemilik). Dengan demikian
setiap petani sawah yang mengambil manfaat atas air yang bersumber dari sumber
mata air utama berkewajiban mengeluarkan tawa’an dan pelemer.
Kedua, tinggi rendahnya volume air memang
ditentukan oleh besarnya curah hujan. Karenanya tanaman padi yang ditanam
adalah padi lokal yang berupa padi bulu. Jenis padi inilah yang kemudian
dikelola oleh masyarakat secara ritual adat. Dengan demikian, pengeluaran (payment) hanya
diberlakukan pada musim tanam tertentu dan pada mata air tertentu pula (yakni
mata air Mendala dan Bangkat Bayan).
KESIMPULAN
Dari tulisan ini dapat dirumuskan beberapa
gagasan atau rekomendasi dan ageda-agenda strategis yang merupakan sebuah
tawaran untuk pengembangan pengelolaan sumberdaya air di masa depan. Agenda
tersebut antara lain:
· Upaya mewujudkan sistem pengelolaan
sumberdaya air yang sustainable perlu di dukung oleh adanya
kesepakatan antara penerima manfaat langsung dengan Pemerintah maupun unit
manajemen pengelola terutama pada sumber mata air yang berada di kawasan hutan
negara.
· Pengeluaran (payment) hanya
diberlakukan pada hal-hal tertentu dan pada mata air tertentu pula yang
disepakati sehingga pengelolaan air lebih terfokus.
· Keberhasilan masyarakat yang sudah
tercapai perlu ditingkatkan pada tingkat kebijakan, baik di desa maupun
kabupaten antara lain pihak swasta/pengusaha yang relavan wajib berkontribusi
dalam kegiatan konservasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Witardi. 2004. Jasa Lingkungan: bersama
kita membangun lingkungan!. Buletin Volume – I. PSDAL – LP3ES. Jakarta.
WWF. 2008. Studi Analisis Hidrologis dan
Perubahan Tutupan Lahan (land use land cover change) Kawasan Gunung Rinjani,
Lombok. WWF bekerjasama dengan Pemda NTB, BPK Mataram, BPDAS Dodokan Moyosari.
0 komentar:
Posting Komentar