Kutukan
Sumber Daya Alam
(Kasus di Hutan Kemasyarakatan
Batukliang Utara Lombok Tengah)
Oleh:
Arya Ahsani Takwim,
Sumberdaya
alam yang ada di bumi ini sangat bermanfaat sebagai sarana penunjang kehidupan
masyarakat sekaligus menjadi sumber pendapatan masyarakat dan hingga saat ini,
fungsi tersebut tidak berubah. Namun demikian, peran vital sumberdaya alam bagi
kehidupan masyarakat, dapat menjadikan ini sebagai sumber konflik. Bahkan lebih
dari itu, suatu negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dapat
mengundang perhatian dan inovasi dari negara lain yang tamak untuk
menguasainya. Menguasai daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang mereka temui
untuk dieksploitasi dan dihisap.
Potret
di atas dapat dilihat di negara kita, Indonesia. Indonesia dikaruniai
sumberdaya alam yang begitu berlimpah baik yang terdapat di dalam bumi, air
maupun di udara. Potensi sumberdaya alam berupa rempah-rempah, minyak, emas,
besi, batubara, serta hutan yang berada dalam kesatuan republik Indonesia bila
dimanfaatkan secara optimal tentunya akan memberikan manfaat yang besar bagi
masyarakat. Namun sebaliknya, kondisi saat ini jauh berbeda dengan harapan.
Sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak jatuh
manfaatnya kepada masyarakat. Bangsa Indonesia menghadapi masalah ekonomi yang
oleh ekonom Barat disebut sebagai kutukan sumberdaya alam (natural resourse curse). Kutukan sumberdaya alam dapat diartikan
sebagai negara yang kaya akan sumberdaya hutan tetapi penduduknya miskin. Hal ini dikarenakan adanya ketergantungan terhadap sumberdaya
alam yang menyebabkan terjadinya korupsi masif dan disertai terjadinya kemiskinan
serta memasukkan negara mereka ke dalam kelompok negara miskin (Authy, 1993).
Pengelolaan Hutan
Dalam konteks kutukan sumberdaya alam berdasarkan pandangan
diatas. Menjadi penting untuk membahas bagaimana ketergantungan sumberdaya alam
terhadap peningkatan kebutuhan ekonomi masyarakat. Dalam tulisan ini, kami
mencoba lebih mengkrucutkan kutukan sumberdaya alam yang akan dibahas dengan
menitikberatkan pada sumberdaya hutan. Pengelolaan sumberdaya khususnya hutan
di Indonesia, memang tidak dapat dilepaskan dari khususnya pasal 33 UU 1945 dan
atas dasar itu pula tidak dapat dipisahkan dari UU Pokok Agraria No.5/1960 dan
UU Kehutanan No.41/1999.
Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat memang diberi
kewenangan mengelola hutan, akan tetapi itu ditujukan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Menurut Suharjito (1999) untuk mencapai hal dimaksud diatas, tahun 1972 negara
mulai mengeskploitasi hutan secara besar-besaran diluar Jawa dan sekaligus juga
menimbulkan kesadaran akan pengelolaan lingkungan.Hal ini dikarenakan dengan
terus melakukan eksploitasi hutan secara besar-besaran untuk memperoleh devisa
bagi Negara. Disisi lain, kejadian bencana (alam dan sosial) terjadi
dimana-mana akibat ketimpangan dalam pengelolaan hutan. Melihat hal tersebut
pemerintah mengeluarkan dua program yakni pemberian pengelolaan hutan (konsesi)
pada para pemodal besar, baik asing maupun dalam negeri dan pembentukan Komite
Nasional untuk Man dan The Biosphere.
Menurut Direktorat Jendral Kehutanan (S. Sastrapradja, 1978:13.
MAB) pada tahun 1977, HPH (Hak Pengusahaan Hutan) sudah diberikan lebih dari
300 konsessioner dan mencakup sekitar 28 ha hutan. Lemahnya pengawasan yang
dilakukan, eksploitasi oleh HPH menjadi tidak terkendali dan berdampak pada
rusaknya hutan Indonesia. Mengenai deforestasi memasuki tahun 1990, beberapa
angka perkiraan pun bermunculan, kerusakan hutan berkisar 0,8 juta ha
(Departemen Kehutanan) sampai 1,3 juta ha (FAO) sedangkan bank dunia (1994)
memperkirakan 0,9 juta ha/tahun. Dari angka perkiraan tersebut nyata bahwa
pengawasan yang dilakukan tidak ketat. Praktek illegal logging akan lebih sulit lagi dipastikan.
Kerusakan hutan Indonesia terus terjadi sampai saat ini. Tidak
jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia, Dinas Kehutanan NTB (2012) mencatat tingkat
kerusakan hutan dan lahan sekitar 47 persen dari 1.071.722 hektar luas total
kawasan hutan. Kondisi ini telah berpengaruh nyata pada ketersediaan dan
kualitas air. Menurut Laporan WWF (2012) Indeks Ketersediaan Air (IKA) Pulau
Lombok mencapai 110 persen dan masuk dalam golongan ‘sangat kritis’ dengan
kualitas air berada pada kategori tercemar ringan hingga berat. Kerusakan hutan
pun makin diperkuat oleh lemahnya kapasitas masyarakat dalam hal akses terhadap
sumberdaya penghidupan produktif, seperti : pemilikan lahan yang sempit
(rata-rata 0.25 hektar/KK); rendahnya pendapatan dari usaha tani; dan kurangnya
keterampilan berusaha di luar sektor pertanian. Karena itu, intervensi terhadap
sumberdaya hutan menjadi tak terhindarkan. Namun kondisi tersebut ternyata
tidak mampu menjawab masalah kemiskinan di daerah ini. Saat ini saja, terdapat
sekitar 40 persen dari penduduk miskin di NTB (894.770 jiwa) berada di kawasan
hutan. Hal ini kemudian berdampak pada tinggi ketergantungan masyarakat miskin
terhadap kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan pada gilirannya
akan menurunkan potensi sumberdaya hayati.
Untuk
menjawab dua persoalan diatas, yakni kemiskinan dan kerusakan hutan. Pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan yang memperhatikan dinamika dan aspirasi lokal,
terutama eksistensi masyarakat yang sudah mengelola kawasan hutan secara turun-temurun.
Kebijakan tersebut adalah HKm (Hutan Kemasyarakatan). Bagi sejumlah kalangan,
HKm dipandang cukup efektif sebagai satu langkah langkah kompromi strategis
baik dalam hubungannya dengan penyelesaian konflik pemanfatan sumber daya hutan
maupun pemecahan masalah kemiskinan dan pemanfaatan kekuatan lokal dalam
pelestarian hutan itu sendiri.
Hutan
Kemasyarakatan (HKm) merupakan satu terobosan penting kebijakan pembangunan
kehutanan nasional. Karena, skema ini memberikan kesempatan kepada masyarakat
setempat sebagai pelaku utama pengelolaan sumberdaya hutan dalam rangka
mewujudkan kelestarian kawasan (aspek ekologi) dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (aspek ekonomi). Dalam pelaksanaannya, izin kelola HKm diberikan
secara kolektif melalui kelembagaan lokal (aspek sosial) yang didasarkan pada
prinsip-prinsip pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat: manfaat dan
lestari; swadaya; kebersamaan dan kemitraan; keterpaduan antar sektor;
bertahap; berkelanjutan; spesifik lokal; dan adaptif.
Lemahnya
kapasitas sumberdaya pengelola (SDM, Kelembagaan, dana) masih menjadi hambatan
untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan dari dikeluarkannya kebijakan
tersebut. Kondisi ini dapat ditemukan pada pelaksanaan HKm Batukliang Utara
dimana masyarakat diberikan ruang untuk dapat menanfaatkan kawasan hutan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Sejak diberikannya hak pengelolaan tersebut oleh
negara padata tahun 2009, masyarakat belum mendapatkan hasil optimal atas
keberadaan sumberdaya hutan tersebut. Sehingga menjadi penting untuk membahas
lebih dalam terkait pengelolaan hutan di Batukliang Utara dengan skema HKm;
kutukan sumberdaya alam.
Tujuan
Secara
umum, tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan pengelolaan hutan dengan skema
HKm di Batukliang Utara dikaitkan dengan praktek-praktek tata kelolanya (kontekstual). Gambaran akan kondisi
pengelolaan hutan di lapangan menjadi penting jika dikaitkan dengan kemiskinan
masyarakat sekitar (kutukan sumberdaya hutan).
BAB II.
Pengelolaan Hutan; Kutukan
Sumberdaya Hutan
KAJIAN PUSTAKA
Pengelolaan Hutan dengan
Skema HKm
Pengelolaan hutan di Indonesia bila dilihat secara kasat mata
cenderung diarahkan pada pembangunan yang lebih banyak dalam bentuk eksploitasi
untuk mendukung industri ketimbang konservasi dan telah berdampak pada
kerusakan serta menurunnya fungsi kawasan (degradasi). Pengelolaan hutan
seharusnya lebih dapat menekankan pada aspek konservasi dan bukan lagi
eksploitasi. Perubahan paradigma pengelolaan hutan yang ditunjukkan dengan
adanya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan di tujukan agar dapat
menjawab masalah degradasi. Masyarakat, secara khusus petani di dalam dan di
sekitar hutan menjadi pelaku konservasinya sekaligus bertanggungjawab atas
keberlanjutan konservasi di wilayahnya.
Perubahan paradigma pengelolaan hutan oleh masyarakat mengandung
makna bahwa hutan sebagai bagian dari masyarakat dan sekaligus masyarakat
sebagai bagian dari hutan. Menurut Awang (2001) bahwa hutan dan rakyat
merupakan dua kata kunci penting yang menjadi dasar dari pengelolaan hutan,
perhutanan sosial menempatkan hutan dan rakyat sebagai yang utama dan
terpenting. Keduanya memiliki hubungan tak terpisahkan
satu dengan yang lain dan memisahkannya akan menciptakan masalah. Karenanya,
penting untuk memberikan ketegasan tentang sistem pengelolaan hutan bagi
masyarakat dalam bentuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat
memanfaatkan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan
yang berada di dalamnya. Dengan demikian masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan harus menjadi sejahterah secara berkelanjutan.
Hutan kemasyarakatan (HKm) merupakan salah
satu bentuk dari pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sebagai
kontekstualisasi social forestry (perhutanan
sosial) di Indonesia. Pola HKm ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat
tanpa mengganggu fungsi pokok hutan terutama bagi mereka yang memiliki
ketergantungan tinggi pada keberadaan kawasan hutan dengan sistem pendekatan
areal kelola/hamparan kelola (Hakim, dkk., 2010). Hutan Kemasyarakat (HKm) menurut Suhardjito (2009)
merupakan bentuk kebijakan devolusi pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia.
Karena HKm (bersama HTR dan HD) membuka peluang lebih besar kepada masyarakat
sekitar hutan untuk akses pada dan memegang hak pengelolaan atas sumber daya
hutan yang dikuasai negara dengan suatu jaminan kepastian (secara hukum) yang
lebih kuat.
Hak masyarakat relatif aman dalam jangka
panjang dengan forest tenure security-nya
kuat karena berlaku selama 35 tahun dan dapat diperbaharui atau diperpanjang.
Jika mengacu pada Ostrom dan Schlager (1996 : 133) maka hak masyarakat
(perorangan atau kelompok atau koperasi) dalam program HKm tersebut terdiri
dari : hak mengelola (management) dan
eksklusi (exclusion). Suhardjito
(2009) menjelaskan bentuk-bentuk hak tersebut meliputi : memungut hasil hutan,
memasuki wilayah hutan dengan batas-batas fisik dan memperoleh manfaat yang
tergolong non-subtractive (seperti :
menikmati udara sejuk-segar, pemandangan yang indah, suara kicauan burung atau
fauna lainnya atau gesekan dedaunan). Meskipun demikian, hak-hak masyarakat
dimaksud masih dibatasi oleh kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab yang
dibebankan oleh pemerintah kepada masyarakat.
Kebijakan HKm dan Kutukan Sumberdaya Alam
Kutukan sumberdaya alam merupakan sebuah fenomena dimana daerah-daerah
yang kaya sumber daya alam mengalami sebuah kondisi dimana pertumbuhan
perekonomian mereka tidak sepesat daerah yang tidak memiliki kekayaan alam.
Bahkan dapat dikatakan bahwa kekayaan alam yang mereka miliki justru membawa
masyarakat yang hidup dalam daerah tersebut kesebuah hidup di dalam garis
kemiskinan. Dalam hal
pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan skema HKm, kutukan sumberdaya alam
dapat dilihat dari aspek kebijakan.
Dalam tulisan ini aspek kebijakan diulas
secara normatif, dimana prinsip pemberdayaan masyarakat dan pemberian ruang dan
akses kelola masyarakat melalui HKm sebagaimana muatan Permenhut 37/2007
sejalan dengan PP No.6/2007 dan UU 41/1999. Namun demikian, masih terdapat
konflik dan ketidakselarasan UU 41/1999 dengan UU lainnya bahkan dengan aturan
lebih tinggi. Santosa dan Silalahi (2011 : 45) menjelaskan bahwa jika dalam UU
Kehutanan, kawasan hutan semuanya adalah milik negara, namun pada UUD 1945
pasal 18 b, pasal 28 i dan pasal 32 (1) dinyatakan bahwa negara mengakui bahkan
menjamin hak masyarakat adat.
Demikian juga, muatan di dalam Tap MPR No.
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Selain itu,
UUPA No 5 tahun 1960 pasal 2 (4) menyatakan bahwa masyarakat hukum adat diberi
semacam hak pengelolaan dan pada pasal 3 juga menyebutkan bahwa pengakuan hak
komunal dapat dilakukan berupa hak ulayat dengan beberapa pembatasan dan
prosedural yang ditetapkan oleh Permen Agraria dan Kepala BPN No.5 tahun 1999.
Dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang disebutkan juga bahwa ruang pengakuan
wilayah adat yaitu dengan mengakui wilayah adat sebagai wilayah dengan nilai
strategis dan sebagai wilayah perdesaan.
Lebih lanjut, Santosa dan Silalahi (2011 :
46) mengidentifikasi sejumlah perbedaan dan konflik kebijakan yang terjadi
antara aturan pelaksanaan HKm (termasuk HD dan HTR) dengan PP No.6 tahun 2007
dan UU Kehutanan No.41/1999 antara lain :
§ Dalam P.37/2007, bahwa penetapan HKm hanya dapat
dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung saja. Sementara, pada
PP 6/2007 pasal 95 bahwa HKm dapat juga ditetapkan pada kawasan Konservasi
(kecuali Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional) selain kawasan HL dan HP.
Pembatasan penetapan HKm pada berdasarkan P.37/2007 tersebut menjadi kendala
dalam penetapan HKm di kawasan Tahura Sumber Agung dan Talang Mulya di Lampung
dan kawasan Tahura Sesaot Lombok Barat.
§ Terdapat perbedaan definisi HHBK pada UU
No.41/1999 dengan permenhut tentang HKm. Pada UU Kehutanan, tanaman kopi dan
coklat bukan termasuk tanaman hutan sementara pada P 37/2007 kedua komoditas
ini bisa masuk dalam HHBK. Dalam P.37/2007
pasal 17 ayat 5 berbunyi : “Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b angka 4 dalam hutan alam, antara
lain berupa pemanfaatan: (a). rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan
penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil;
(b). getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan
pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil”.
§ Setelah penetapan areal kelola, posisi HKm
ini bersifat ijin. Dalam PP/2007 dan UU 41/1999 mengatur bahwa areal hutan yang
telah mendapatkan ijin maka seluruh fasilitasi dan kewajiban difasilitasi oleh
pemegang ijin. Pada Permenhut 37/2007 pasal 12 ayat 3 disebutkan bahwa
fasilitasi HKm dalam pengembangan kelompok, pengajuan permohonan izin,
penyusunan rencana kerja, hingga pemberdayaan dan pasar wajib dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota yang dibantu pemerintah provinsi
BAB
III
PEMBAHASAN
Pengelolaan Hutan di Batukliang Utara
Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui
HKm dapat dibagi dalam 2 (dua) tahapan yakni : pertama, penetapan areal kerja HKm; kedua, perizinan terhadap usaha pemanfaatan kawasan HKm. Penetapan
areal kerja HKm di Kawasan Batukliang (Hutan Lindung) dilakukan oleh Menteri
Kehutanan RI berdasarkan :
a. Pasal
93 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Menteri menetapkan areal
kerja hutan kemasyarakatan;
b. Pasal 7 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, areal kerja Hutan
Kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Menteri berada pada kawasan hutan lindung
dan hutan produksi yang belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil
hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat;
c. Pasal 9 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.37/Menhut-II/2007 tentang verifikasi usulan areal kerja Hutan Kemasyarakatan
oleh Gubernur atau Bupati/Walikota;
d. Pasal 10 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang diterimanya hasil verifikasi usulan areal
kerja Hutan Kemasyarakatan oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota;
Berdasarkan sejumlah kerangka regulasi
tersebut, Menteri Kehutanan RI selanjutnya telah menetapkan areal kerja Hutan
Kemasyarakatan dengan SK. 436/Menhut-II/2007 tentang Penetapan Areal Kerja HKm
di Kabupaten Lombok Tengah, tepatnya di kawasan Hutan Lindung Batukliang Utara
seluas 1.089,5 Hektar; Selanjutnya, pengaturan pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan
HKm (IUPHKm) merupakan kewenangan dari Pemerintah Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota)
berdasarkan ketentuan pada :
a. Pasal 96 ayat (1) huruf b, Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Gubernur,
pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada dalam
wilayah kewenangannya dan bupati/walikota, pada areal kerja hutan
kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan izin usaha
pemanfaatan hutan kemasyarakatan, yang meliputi kegiatan usaha pemanfaatan
kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu;
b. Pasal 96 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor
6 Tahun 2007; Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, diberikan kepada kelompok masyarakat setempat;
c. Pasal 96 ayat (6), Peraturan Pemerintah Nomor
6 Tahun 2007; Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun
dan dapat diperpanjang.
d. Pasal 14 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.37/Menhut-II/2007, IUPHKm dapat diberikan kepada kelompok masyarakat setempat
yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai
areal kerja hutan kemasyarakatan dengan surat Keputusan Menteri;
e. Pasal 19 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.37/Menhut-II/2007, Bupati/ Walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan
yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan IUPHKm dengan tembusan kepada
Menteri cq. Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial,
Gubernur, dan Kepala KPH;
f. SK. 436/Menhut-II/2007 tentang Penetapan
Areal Kerja HKm di Kabupaten Lombok Tengah, tepatnya di kawasan Hutan Lindung
Batukliang Utara seluas 1.089,5 Hektar;
g. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan;
Adapun keputusan Pemerintah Daerah terkait
Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Kec.
Batukliang Utara-Lombok Tengah, masing-masing :
-
SK.
Bupati Lombok Tengah Nomor 38/2010 tanggal 10 Februari 2010 kepada Kelompok
Serba Usaha (KSU) Mele Maju – Desa Lantan, areal seluas 349 hektar;
-
SK.
Bupati Lombok Tengah Nomor 39/2010 tanggal 10 Februari 2010 kepada Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Karang Sidemen, areal seluas 403 hektar;
-
SK.
Bupati Lombok Tengah Nomor 160/2010 tanggal 12 April 2010 kepada Majelis Ta’lim
Darus Shidiqien Desa Setiling, areal seluas 217,5 hektar;
-
SK.
Bupati Lombok Tengah Nomor 155/2010 tanggal 16 April 2010 kepada Gapoktan Rimba
Lestari Desa Aik Berik, areal seluas 840 hektar;
Paska di keluarkannya legalitas pemanfaatan
hutan kepada masyarakat oleh negara. Maka masyarakat melakukan perencanaan
pemanfaatan kawasan dalam bentuk rencana kerja tahunan (selama 35 tahun)
terkait tata kelola kawasan, tata kelola kelembagaan dan tata kelola usaha yang
ditujukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengurangi
fungsi dari kawasan hutan. Dari hasil studi-studi yang telah dilakukan
menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian Samad (2012) menunjukkan bahwa
sebagian besar responden petani HKm Batukliang Utara memperoleh rata-rata
pendapatan dari lahan HKm sebesar Rp.5.001.851,- per tahun atau Rp.416.000,-
per bulan. Perhitungan pendapatan ini jauh berbeda dengan hasil Dipokusumo
(2011) yang menghitung pendapatan petani dari lahan HKm sebesar Rp.2.261.699
per tahun atau sekitar Rp.188.472 per bulan.
Padahal, bila dilihat dari kondisi biofisik
yang terdapat di HKm Batu Kliangutara. HKm tersebut memiliki begitu banyak
potensi yang dapat digali untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani
pengelola HKm. Mulai dari keunggulan biofisik (benang stokel dan benang
kelambu) sebagai salah satu destinasi wisata
di Lombok Tengah. Ketersedian air yang begitu besar untuk menyuplai kebutuhan
air bersih, irigasi dsb untuk wilayah-wilayah di sekitarnya sampai wilayah
Lombok Selatan. Namun, fakta tersebut berbanding terbalik dengan pendapatan
yang diperoleh oleh petani selama ini.
Fakta ini dapat dikaitkan dalam konteks teori
kutukan sumberdaya alam dimana suatu daerah yang kaya akan sumberdaya, karena
‘salah urus’ maka masyarakatnya menjadi miskin. Pemerintah sebagai diamanatkan
di dalam undang-undang diberikan kewenangan untuk mengatur, memfasilitasi
masyarakat di dalam upaya mendukung pelestarian kawasan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, bila di lihat dari alokasi anggaran oleh
negara dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Tengah relatif
kecil dan mengalami fluktuasi selama kurun waktu 2008-2012.
Pada tahun 2008, Dishutbun mendapat alokasi
APBD sebesar Rp. 8,8 Miliar dan turun 22.57 persen hingga menjadi Rp. 6,83 di
tahun berikutnya. Tahun 2010, jumlah tersebut mengalami sedikit penurunan
sekitar 2.09 persen dari tahun sebelumnya sehingga mendapat alokasi sekitar Rp.
6,7 Miliar. Alokasi ini naik sebesar 8,1 persen menjadi Rp. 7,2 Miliar pada
tahun 2011. Selanjutnya, APBD Dishutbun mengalami kenaikan cukup besar yakni
45.7 persen dengan alokasi sekitar Rp. 10,53 Miliar. Dari total APBD Dishutbun
tersebut, proporsi belanja untuk HKm/HTR/HD sangat kecil yakni rata-rata 1.2
persen selama kurun waktu tersebut (Zaini, 2012). Pada tahun anggaran 2013,
alokasi anggaran untuk HKm sebesar Rp. 100 juta dari APBD II guna membiayai
kegiatan fasilitasi dan pendampingan kelompok.
Pengangaran yang demikian ini kemudian
berdampak pada tidak optimalnya penyelenggaraan HKm di wilayah Batukliang
Utara, baik dalam pengembangan kapasitas sumberdaya manusia pengelolaa HKm,
perbaikan sarana prasarana penunjang HKm dan juga modal sebagai stimulant masyarakat untuk dapat
meningkatkan nilai jual produk yang keluar dari HKm. Optimalisasi
penyelenggaraan HKm bila berjalan dengan baik maka tentunya akan berdampak pada
peningkatan asli daerah (PAD). Jika pendapatan daerah dari sektor kehutanan ini
terutama dari HKm, dapat diterima secara maksimal dan dikelola dengan baik,
maka pendapatan tersebut tentu akan dapat digunakan untuk mengembangkan daerah dan
juga dapat digunakan untuk mengembangkan program-program pengentasan kemiskinan
lainnya.
Beberapa kebijakan terkait dengan pemilihan
jenis hasil hutan bukan kayu yang dapat dikembangkan oleh masyarakat juga tidak
mengakomodir kepentingan lokal. Saat ini jenis tanaman yang banyak terdapat di
dalam HKm dan juga merupakan tanaman yang dianggap mampu mendongkrak pendapatan
petani pengelolaa HKm justru tidak mendapat ruang di dalam peraturan/kebikajan,
sehinga tidak memilik prospek dan dukungan dari pemerintah untuk dapat
dikembangkan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan
hutan dengan skema HKm yang mengamanatkan pemanfaatan hutan negara untuk
kesejahteraan masyarakat serta perbaikan kualitas lingkungan. Dari studi kasus
di Batukliang Utara diketahui bahwa daerah ini memiliki kekayaan sumberdaya. Namun,
faktanya belum dapat menjawab persoalan pengentasan kemiskinan. Salah satu
penyebabnya adalah kebijakan dan politik anggaran yang belum memadai dari
pemerintah sehingga penyelenggaraannya pun belum dapat dilakukan secara
maksimal.
Rekomendasi
Untuk dapat menjawab tantangan/hambatan
dalam penyelenggaran HKm di Batukliang Utara, berdasarkan dari gambaran di atas.
Maka beberapa rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut:
1. Diperlukan upaya optimalisasi potensi lokal
sebagai bagian utama dalam proses penyelenggaraan HKm
2. Diperlukan pengembangan dukungan multipihak
dalam kerangka pengintegrasian penyelenggaraan HKm ke dalam rencana strategis
pengembangan daerah dimasa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Authy, R.M.1993. Sustaining Development in Mineral Economies: The Resources Curse Thesis.
Dipokusumo, B. 2011. Model Partisipatif
Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan : Kasus Pembangunan
HKm pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok. Disertasi. Sekolah Pascarjana IPB-Bogor
Hakim, I., dkk. 2010. Social Forestry : Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan
Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
– Kementerian Kehutanan R.I.
Ismail, R., 2011. Panduan Pengembangan
Kebijakan REDD+ di Daerah Secara Partisipatif dan Multi Pihak : Belajar dari
Pendekatan Partisipatif dan Multi Pihak yang Dikembangkan oleh UN-REDD
Programme Indonesia. UN-REDD, FAO, UNDP dan UNEP bekerjasama dengan Kementerian
Kehutanan RI. 97p.
Samad, S. 2012. Efektifitas Program Hutan
Kemasyarakatan di Pulau Lombok Provinsi NTB : Studi Kasus pada Kawasan Hutan
Lindung Sesaot Kabupaten Lombok Barat dan Kawasan Hutan Lindung Batukliang
Lombok Utara. Tesis. Program Magister
Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering-Program Pascasarjana Universitas Mataram
Santosa, Andri dan Mangarah Silalahi. 2011.
Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+.
Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Bogor, Indonesia. 115p
Suhardjito, D., 2009. Devolusi Pengelolaan
Hutan di Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina. JMHT Vol. XV, (3): 123–130, Desember 2009.
Suharjito, D. 1999. Hak-hak
penguasaan atas tanah hutan di Indonesia. P3KM.CV. Dewi Sri Jaya. Bogor.
World Bank. 1994. Indonesia
Enviroment and Development Changlenges for the future. Washington. D.C. World
Bank.
Zaini, A. 2012. Studi Perencanaan dan
Penganggaran PHBM di NTB. Laporan Hasil.
Kemitraan Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar