Rabu, 07 Agustus 2013

Pengelolaan Hutan oleh Negara dan Rakyat


Kutukan Sumber Daya Alam
(Kasus di Hutan Kemasyarakatan Batukliang Utara Lombok Tengah)

Oleh:
Arya Ahsani Takwim,



Sumberdaya alam yang ada di bumi ini sangat bermanfaat sebagai sarana penunjang kehidupan masyarakat sekaligus menjadi sumber pendapatan masyarakat dan hingga saat ini, fungsi tersebut tidak berubah. Namun demikian, peran vital sumberdaya alam bagi kehidupan masyarakat, dapat menjadikan ini sebagai sumber konflik. Bahkan lebih dari itu, suatu negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dapat mengundang perhatian dan inovasi dari negara lain yang tamak untuk menguasainya. Menguasai daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang mereka temui untuk dieksploitasi dan dihisap.

Potret di atas dapat dilihat di negara kita, Indonesia. Indonesia dikaruniai sumberdaya alam yang begitu berlimpah baik yang terdapat di dalam bumi, air maupun di udara. Potensi sumberdaya alam berupa rempah-rempah, minyak, emas, besi, batubara, serta hutan yang berada dalam kesatuan republik Indonesia bila dimanfaatkan secara optimal tentunya akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Namun sebaliknya, kondisi saat ini jauh berbeda dengan harapan. Sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak jatuh manfaatnya kepada masyarakat. Bangsa Indonesia menghadapi masalah ekonomi yang oleh ekonom Barat disebut sebagai kutukan sumberdaya alam (natural resourse curse). Kutukan sumberdaya alam dapat diartikan sebagai negara yang kaya akan sumberdaya hutan tetapi penduduknya miskin. Hal ini dikarenakan adanya ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang menyebabkan terjadinya korupsi masif dan disertai terjadinya kemiskinan serta memasukkan negara mereka ke dalam kelompok negara miskin (Authy, 1993).

Pengelolaan Hutan
Dalam konteks kutukan sumberdaya alam berdasarkan pandangan diatas. Menjadi penting untuk membahas bagaimana ketergantungan sumberdaya alam terhadap peningkatan kebutuhan ekonomi masyarakat. Dalam tulisan ini, kami mencoba lebih mengkrucutkan kutukan sumberdaya alam yang akan dibahas dengan menitikberatkan pada sumberdaya hutan. Pengelolaan sumberdaya khususnya hutan di Indonesia, memang tidak dapat dilepaskan dari khususnya pasal 33 UU 1945 dan atas dasar itu pula tidak dapat dipisahkan dari UU Pokok Agraria No.5/1960 dan UU Kehutanan No.41/1999.

Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat memang diberi kewenangan mengelola hutan, akan tetapi itu ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Menurut Suharjito (1999) untuk mencapai hal dimaksud diatas, tahun 1972 negara mulai mengeskploitasi hutan secara besar-besaran diluar Jawa dan sekaligus juga menimbulkan kesadaran akan pengelolaan lingkungan.Hal ini dikarenakan dengan terus melakukan eksploitasi hutan secara besar-besaran untuk memperoleh devisa bagi Negara. Disisi lain, kejadian bencana (alam dan sosial) terjadi dimana-mana akibat ketimpangan dalam pengelolaan hutan. Melihat hal tersebut pemerintah mengeluarkan dua program yakni pemberian pengelolaan hutan (konsesi) pada para pemodal besar, baik asing maupun dalam negeri dan pembentukan Komite Nasional untuk Man dan The Biosphere.

Menurut Direktorat Jendral Kehutanan (S. Sastrapradja, 1978:13. MAB) pada tahun 1977, HPH (Hak Pengusahaan Hutan) sudah diberikan lebih dari 300 konsessioner dan mencakup sekitar 28 ha hutan. Lemahnya pengawasan yang dilakukan, eksploitasi oleh HPH menjadi tidak terkendali dan berdampak pada rusaknya hutan Indonesia. Mengenai deforestasi memasuki tahun 1990, beberapa angka perkiraan pun bermunculan, kerusakan hutan berkisar 0,8 juta ha (Departemen Kehutanan) sampai 1,3 juta ha (FAO) sedangkan bank dunia (1994) memperkirakan 0,9 juta ha/tahun. Dari angka perkiraan tersebut nyata bahwa pengawasan yang dilakukan tidak ketat. Praktek illegal logging akan lebih sulit lagi dipastikan.

Kerusakan hutan Indonesia terus terjadi sampai saat ini. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia, Dinas Kehutanan NTB (2012) mencatat tingkat kerusakan hutan dan lahan sekitar 47 persen dari 1.071.722 hektar luas total kawasan hutan. Kondisi ini telah berpengaruh nyata pada ketersediaan dan kualitas air. Menurut Laporan WWF (2012) Indeks Ketersediaan Air (IKA) Pulau Lombok mencapai 110 persen dan masuk dalam golongan ‘sangat kritis’ dengan kualitas air berada pada kategori tercemar ringan hingga berat. Kerusakan hutan pun makin diperkuat oleh lemahnya kapasitas masyarakat dalam hal akses terhadap sumberdaya penghidupan produktif, seperti : pemilikan lahan yang sempit (rata-rata 0.25 hektar/KK); rendahnya pendapatan dari usaha tani; dan kurangnya keterampilan berusaha di luar sektor pertanian. Karena itu, intervensi terhadap sumberdaya hutan menjadi tak terhindarkan. Namun kondisi tersebut ternyata tidak mampu menjawab masalah kemiskinan di daerah ini. Saat ini saja, terdapat sekitar 40 persen dari penduduk miskin di NTB (894.770 jiwa) berada di kawasan hutan. Hal ini kemudian berdampak pada tinggi ketergantungan masyarakat miskin terhadap kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan pada gilirannya akan menurunkan potensi sumberdaya hayati.  

Untuk menjawab dua persoalan diatas, yakni kemiskinan dan kerusakan hutan. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang memperhatikan dinamika dan aspirasi lokal, terutama eksistensi masyarakat yang sudah mengelola kawasan hutan secara turun-temurun. Kebijakan tersebut adalah HKm (Hutan Kemasyarakatan). Bagi sejumlah kalangan, HKm dipandang cukup efektif sebagai satu langkah langkah kompromi strategis baik dalam hubungannya dengan penyelesaian konflik pemanfatan sumber daya hutan maupun pemecahan masalah kemiskinan dan pemanfaatan kekuatan lokal dalam pelestarian hutan itu sendiri.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan satu terobosan penting kebijakan pembangunan kehutanan nasional. Karena, skema ini memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku utama pengelolaan sumberdaya hutan dalam rangka mewujudkan kelestarian kawasan (aspek ekologi) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (aspek ekonomi). Dalam pelaksanaannya, izin kelola HKm diberikan secara kolektif melalui kelembagaan lokal (aspek sosial) yang didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat: manfaat dan lestari; swadaya; kebersamaan dan kemitraan; keterpaduan antar sektor; bertahap; berkelanjutan; spesifik lokal; dan adaptif.

Lemahnya kapasitas sumberdaya pengelola (SDM, Kelembagaan, dana) masih menjadi hambatan untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan dari dikeluarkannya kebijakan tersebut. Kondisi ini dapat ditemukan pada pelaksanaan HKm Batukliang Utara dimana masyarakat diberikan ruang untuk dapat menanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sejak diberikannya hak pengelolaan tersebut oleh negara padata tahun 2009, masyarakat belum mendapatkan hasil optimal atas keberadaan sumberdaya hutan tersebut. Sehingga menjadi penting untuk membahas lebih dalam terkait pengelolaan hutan di Batukliang Utara dengan skema HKm; kutukan sumberdaya alam.

Tujuan
Secara umum, tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan pengelolaan hutan dengan skema HKm di Batukliang Utara dikaitkan dengan praktek-praktek tata kelolanya (kontekstual). Gambaran akan kondisi pengelolaan hutan di lapangan menjadi penting jika dikaitkan dengan kemiskinan masyarakat sekitar (kutukan sumberdaya hutan).


BAB II.
Pengelolaan Hutan; Kutukan Sumberdaya Hutan
KAJIAN PUSTAKA



Pengelolaan Hutan dengan Skema HKm
Pengelolaan hutan di Indonesia bila dilihat secara kasat mata cenderung diarahkan pada pembangunan yang lebih banyak dalam bentuk eksploitasi untuk mendukung industri ketimbang konservasi dan telah berdampak pada kerusakan serta menurunnya fungsi kawasan (degradasi). Pengelolaan hutan seharusnya lebih dapat menekankan pada aspek konservasi dan bukan lagi eksploitasi. Perubahan paradigma pengelolaan hutan yang ditunjukkan dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan di tujukan agar dapat menjawab masalah degradasi. Masyarakat, secara khusus petani di dalam dan di sekitar hutan menjadi pelaku konservasinya sekaligus bertanggungjawab atas keberlanjutan konservasi di wilayahnya.

Perubahan paradigma pengelolaan hutan oleh masyarakat mengandung makna bahwa hutan sebagai bagian dari masyarakat dan sekaligus masyarakat sebagai bagian dari hutan. Menurut Awang (2001) bahwa hutan dan rakyat merupakan dua kata kunci penting yang menjadi dasar dari pengelolaan hutan, perhutanan sosial menempatkan hutan dan rakyat sebagai yang utama dan terpenting. Keduanya memiliki hubungan tak terpisahkan satu dengan yang lain dan memisahkannya akan menciptakan masalah. Karenanya, penting untuk memberikan ketegasan tentang sistem pengelolaan hutan bagi masyarakat dalam bentuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan yang berada di dalamnya. Dengan demikian masyarakat di dalam dan di sekitar hutan harus menjadi sejahterah secara berkelanjutan.

Hutan kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu bentuk dari pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sebagai kontekstualisasi social forestry (perhutanan sosial) di Indonesia. Pola HKm ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tanpa mengganggu fungsi pokok hutan terutama bagi mereka yang memiliki ketergantungan tinggi pada keberadaan kawasan hutan dengan sistem pendekatan areal kelola/hamparan kelola (Hakim, dkk., 2010).  Hutan Kemasyarakat (HKm) menurut Suhardjito (2009) merupakan bentuk kebijakan devolusi pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Karena HKm (bersama HTR dan HD) membuka peluang lebih besar kepada masyarakat sekitar hutan untuk akses pada dan memegang hak pengelolaan atas sumber daya hutan yang dikuasai negara dengan suatu jaminan kepastian (secara hukum) yang lebih kuat.

Hak masyarakat relatif aman dalam jangka panjang dengan forest tenure security-nya kuat karena berlaku selama 35 tahun dan dapat diperbaharui atau diperpanjang. Jika mengacu pada Ostrom dan Schlager (1996 : 133) maka hak masyarakat (perorangan atau kelompok atau koperasi) dalam program HKm tersebut terdiri dari : hak mengelola (management) dan eksklusi (exclusion). Suhardjito (2009) menjelaskan bentuk-bentuk hak tersebut meliputi : memungut hasil hutan, memasuki wilayah hutan dengan batas-batas fisik dan memperoleh manfaat yang tergolong non-subtractive (seperti : menikmati udara sejuk-segar, pemandangan yang indah, suara kicauan burung atau fauna lainnya atau gesekan dedaunan). Meskipun demikian, hak-hak masyarakat dimaksud masih dibatasi oleh kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan oleh pemerintah kepada masyarakat.

Kebijakan HKm dan Kutukan Sumberdaya Alam
Kutukan sumberdaya alam  merupakan sebuah fenomena dimana daerah-daerah yang kaya sumber daya alam mengalami sebuah kondisi dimana pertumbuhan perekonomian mereka tidak sepesat daerah yang tidak memiliki kekayaan alam. Bahkan dapat dikatakan bahwa kekayaan alam yang mereka miliki justru membawa masyarakat yang hidup dalam daerah tersebut kesebuah hidup di dalam garis kemiskinan.  Dalam hal pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan skema HKm, kutukan sumberdaya alam dapat dilihat dari aspek kebijakan.

Dalam tulisan ini aspek kebijakan diulas secara normatif, dimana prinsip pemberdayaan masyarakat dan pemberian ruang dan akses kelola masyarakat melalui HKm sebagaimana muatan Permenhut 37/2007 sejalan dengan PP No.6/2007 dan UU 41/1999. Namun demikian, masih terdapat konflik dan ketidakselarasan UU 41/1999 dengan UU lainnya bahkan dengan aturan lebih tinggi. Santosa dan Silalahi (2011 : 45) menjelaskan bahwa jika dalam UU Kehutanan, kawasan hutan semuanya adalah milik negara, namun pada UUD 1945 pasal 18 b, pasal 28 i dan pasal 32 (1) dinyatakan bahwa negara mengakui bahkan menjamin hak masyarakat adat.

Demikian juga, muatan di dalam Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Selain itu, UUPA No 5 tahun 1960 pasal 2 (4) menyatakan bahwa masyarakat hukum adat diberi semacam hak pengelolaan dan pada pasal 3 juga menyebutkan bahwa pengakuan hak komunal dapat dilakukan berupa hak ulayat dengan beberapa pembatasan dan prosedural yang ditetapkan oleh Permen Agraria dan Kepala BPN No.5 tahun 1999. Dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang disebutkan juga bahwa ruang pengakuan wilayah adat yaitu dengan mengakui wilayah adat sebagai wilayah dengan nilai strategis dan sebagai wilayah perdesaan.

Lebih lanjut, Santosa dan Silalahi (2011 : 46) mengidentifikasi sejumlah perbedaan dan konflik kebijakan yang terjadi antara aturan pelaksanaan HKm (termasuk HD dan HTR) dengan PP No.6 tahun 2007 dan UU Kehutanan No.41/1999 antara lain :
§  Dalam P.37/2007, bahwa penetapan HKm hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung saja. Sementara, pada PP 6/2007 pasal 95 bahwa HKm dapat juga ditetapkan pada kawasan Konservasi (kecuali Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional) selain kawasan HL dan HP. Pembatasan penetapan HKm pada berdasarkan P.37/2007 tersebut menjadi kendala dalam penetapan HKm di kawasan Tahura Sumber Agung dan Talang Mulya di Lampung dan kawasan Tahura Sesaot Lombok Barat.
§  Terdapat perbedaan definisi HHBK pada UU No.41/1999 dengan permenhut tentang HKm. Pada UU Kehutanan, tanaman kopi dan coklat bukan termasuk tanaman hutan sementara pada P 37/2007 kedua komoditas ini bisa masuk dalam HHBK. Dalam P.37/2007  pasal 17 ayat 5 berbunyi : “Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b angka 4 dalam hutan alam, antara lain berupa pemanfaatan: (a). rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil; (b). getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil”.
§  Setelah penetapan areal kelola, posisi HKm ini bersifat ijin. Dalam PP/2007 dan UU 41/1999 mengatur bahwa areal hutan yang telah mendapatkan ijin maka seluruh fasilitasi dan kewajiban difasilitasi oleh pemegang ijin. Pada Permenhut 37/2007 pasal 12 ayat 3 disebutkan bahwa fasilitasi HKm dalam pengembangan kelompok, pengajuan permohonan izin, penyusunan rencana kerja, hingga pemberdayaan dan pasar wajib dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dibantu pemerintah provinsi

BAB III
PEMBAHASAN

Pengelolaan Hutan di Batukliang Utara
Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui HKm dapat dibagi dalam 2 (dua) tahapan yakni : pertama, penetapan areal kerja HKm; kedua, perizinan terhadap usaha pemanfaatan kawasan HKm. Penetapan areal kerja HKm di Kawasan Batukliang (Hutan Lindung) dilakukan oleh Menteri Kehutanan RI berdasarkan :
a.       Pasal  93 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Menteri menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan;
b.      Pasal 7 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, areal kerja Hutan Kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Menteri berada pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat;
c.       Pasal 9 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang verifikasi usulan areal kerja Hutan Kemasyarakatan oleh Gubernur  atau Bupati/Walikota;
d.      Pasal 10 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang diterimanya hasil verifikasi usulan areal kerja Hutan Kemasyarakatan oleh Gubernur  atau Bupati/Walikota;

Berdasarkan sejumlah kerangka regulasi tersebut, Menteri Kehutanan RI selanjutnya telah menetapkan areal kerja Hutan Kemasyarakatan dengan SK. 436/Menhut-II/2007 tentang Penetapan Areal Kerja HKm di Kabupaten Lombok Tengah, tepatnya di kawasan Hutan Lindung Batukliang Utara seluas 1.089,5 Hektar; Selanjutnya, pengaturan pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) merupakan kewenangan dari Pemerintah Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) berdasarkan ketentuan pada :
a.       Pasal 96 ayat (1) huruf b, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008,  Gubernur, pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kewenangannya dan bupati/walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, yang meliputi kegiatan usaha pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu;
b.      Pasal 96 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007; Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diberikan kepada kelompok masyarakat setempat;
c.       Pasal 96 ayat (6), Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007; Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang.
d.      Pasal 14 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007, IUPHKm dapat diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan surat Keputusan Menteri;
e.       Pasal 19 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007, Bupati/ Walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan IUPHKm dengan tembusan kepada Menteri cq. Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Gubernur, dan Kepala KPH;
f.       SK. 436/Menhut-II/2007 tentang Penetapan Areal Kerja HKm di Kabupaten Lombok Tengah, tepatnya di kawasan Hutan Lindung Batukliang Utara seluas 1.089,5 Hektar;
g.      Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan;

Adapun keputusan Pemerintah Daerah terkait Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Kec. Batukliang Utara-Lombok Tengah, masing-masing :
-        SK. Bupati Lombok Tengah Nomor 38/2010 tanggal 10 Februari 2010 kepada Kelompok Serba Usaha (KSU) Mele Maju – Desa Lantan, areal seluas 349 hektar;
-        SK. Bupati Lombok Tengah Nomor 39/2010 tanggal 10 Februari 2010 kepada Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Karang Sidemen, areal seluas 403 hektar;
-        SK. Bupati Lombok Tengah Nomor 160/2010 tanggal 12 April 2010 kepada Majelis Ta’lim Darus Shidiqien Desa Setiling, areal seluas 217,5 hektar;
-        SK. Bupati Lombok Tengah Nomor 155/2010 tanggal 16 April 2010 kepada Gapoktan Rimba Lestari Desa Aik Berik, areal seluas 840 hektar;

Paska di keluarkannya legalitas pemanfaatan hutan kepada masyarakat oleh negara. Maka masyarakat melakukan perencanaan pemanfaatan kawasan dalam bentuk rencana kerja tahunan (selama 35 tahun) terkait tata kelola kawasan, tata kelola kelembagaan dan tata kelola usaha yang ditujukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengurangi fungsi dari kawasan hutan. Dari hasil studi-studi yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian Samad (2012) menunjukkan bahwa sebagian besar responden petani HKm Batukliang Utara memperoleh rata-rata pendapatan dari lahan HKm sebesar Rp.5.001.851,- per tahun atau Rp.416.000,- per bulan. Perhitungan pendapatan ini jauh berbeda dengan hasil Dipokusumo (2011) yang menghitung pendapatan petani dari lahan HKm sebesar Rp.2.261.699 per tahun atau sekitar Rp.188.472 per bulan.

Padahal, bila dilihat dari kondisi biofisik yang terdapat di HKm Batu Kliangutara. HKm tersebut memiliki begitu banyak potensi yang dapat digali untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani pengelola HKm. Mulai dari keunggulan biofisik (benang stokel dan benang kelambu) sebagai salah satu destinasi wisata di Lombok Tengah. Ketersedian air yang begitu besar untuk menyuplai kebutuhan air bersih, irigasi dsb untuk wilayah-wilayah di sekitarnya sampai wilayah Lombok Selatan. Namun, fakta tersebut berbanding terbalik dengan pendapatan yang diperoleh oleh petani selama ini.

Fakta ini dapat dikaitkan dalam konteks teori kutukan sumberdaya alam dimana suatu daerah yang kaya akan sumberdaya, karena ‘salah urus’ maka masyarakatnya menjadi miskin. Pemerintah sebagai diamanatkan di dalam undang-undang diberikan kewenangan untuk mengatur, memfasilitasi masyarakat di dalam upaya mendukung pelestarian kawasan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, bila di lihat dari alokasi anggaran oleh negara dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Tengah relatif kecil dan mengalami fluktuasi selama kurun waktu 2008-2012.

Pada tahun 2008, Dishutbun mendapat alokasi APBD sebesar Rp. 8,8 Miliar dan turun 22.57 persen hingga menjadi Rp. 6,83 di tahun berikutnya. Tahun 2010, jumlah tersebut mengalami sedikit penurunan sekitar 2.09 persen dari tahun sebelumnya sehingga mendapat alokasi sekitar Rp. 6,7 Miliar. Alokasi ini naik sebesar 8,1 persen menjadi Rp. 7,2 Miliar pada tahun 2011. Selanjutnya, APBD Dishutbun mengalami kenaikan cukup besar yakni 45.7 persen dengan alokasi sekitar Rp. 10,53 Miliar. Dari total APBD Dishutbun tersebut, proporsi belanja untuk HKm/HTR/HD sangat kecil yakni rata-rata 1.2 persen selama kurun waktu tersebut (Zaini, 2012). Pada tahun anggaran 2013, alokasi anggaran untuk HKm sebesar Rp. 100 juta dari APBD II guna membiayai kegiatan fasilitasi dan pendampingan kelompok.

Pengangaran yang demikian ini kemudian berdampak pada tidak optimalnya penyelenggaraan HKm di wilayah Batukliang Utara, baik dalam pengembangan kapasitas sumberdaya manusia pengelolaa HKm, perbaikan sarana prasarana penunjang HKm dan juga modal sebagai stimulant masyarakat untuk dapat meningkatkan nilai jual produk yang keluar dari HKm. Optimalisasi penyelenggaraan HKm bila berjalan dengan baik maka tentunya akan berdampak pada peningkatan asli daerah (PAD). Jika pendapatan daerah dari sektor kehutanan ini terutama dari HKm, dapat diterima secara maksimal dan dikelola dengan baik, maka pendapatan tersebut tentu akan dapat digunakan untuk mengembangkan daerah dan juga dapat digunakan untuk mengembangkan program-program pengentasan kemiskinan lainnya.
Beberapa kebijakan terkait dengan pemilihan jenis hasil hutan bukan kayu yang dapat dikembangkan oleh masyarakat juga tidak mengakomodir kepentingan lokal. Saat ini jenis tanaman yang banyak terdapat di dalam HKm dan juga merupakan tanaman yang dianggap mampu mendongkrak pendapatan petani pengelolaa HKm justru tidak mendapat ruang di dalam peraturan/kebikajan, sehinga tidak memilik prospek dan dukungan dari pemerintah untuk dapat dikembangkan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan dengan skema HKm yang mengamanatkan pemanfaatan hutan negara untuk kesejahteraan masyarakat serta perbaikan kualitas lingkungan. Dari studi kasus di Batukliang Utara diketahui bahwa daerah ini memiliki kekayaan sumberdaya. Namun, faktanya belum dapat menjawab persoalan pengentasan kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan dan politik anggaran yang belum memadai dari pemerintah sehingga penyelenggaraannya pun belum dapat dilakukan secara maksimal. 

Rekomendasi
      Untuk dapat menjawab tantangan/hambatan dalam penyelenggaran HKm di Batukliang Utara, berdasarkan dari gambaran di atas. Maka beberapa rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut:
1.      Diperlukan upaya optimalisasi potensi lokal sebagai bagian utama dalam proses penyelenggaraan HKm
2.      Diperlukan pengembangan dukungan multipihak dalam kerangka pengintegrasian penyelenggaraan HKm ke dalam rencana strategis pengembangan daerah dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Authy, R.M.1993. Sustaining Development in Mineral Economies: The Resources Curse Thesis.
Dipokusumo, B. 2011. Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan : Kasus Pembangunan HKm pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok. Disertasi. Sekolah Pascarjana IPB-Bogor
Hakim, I., dkk. 2010. Social Forestry : Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan – Kementerian Kehutanan R.I.
Ismail, R., 2011. Panduan Pengembangan Kebijakan REDD+ di Daerah Secara Partisipatif dan Multi Pihak : Belajar dari Pendekatan Partisipatif dan Multi Pihak yang Dikembangkan oleh UN-REDD Programme Indonesia. UN-REDD, FAO, UNDP dan UNEP bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan RI. 97p.
Samad, S. 2012. Efektifitas Program Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok Provinsi NTB : Studi Kasus pada Kawasan Hutan Lindung Sesaot Kabupaten Lombok Barat dan Kawasan Hutan Lindung Batukliang Lombok Utara. Tesis. Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering-Program Pascasarjana Universitas Mataram
Santosa, Andri dan Mangarah Silalahi. 2011. Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Bogor, Indonesia. 115p
Suhardjito, D., 2009. Devolusi Pengelolaan Hutan di Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina. JMHT Vol. XV, (3): 123–130, Desember 2009.
Suharjito, D. 1999. Hak-hak penguasaan atas tanah hutan di Indonesia. P3KM.CV. Dewi Sri Jaya. Bogor.
World Bank. 1994. Indonesia Enviroment and Development Changlenges for the future. Washington. D.C. World Bank.
Zaini, A. 2012. Studi Perencanaan dan Penganggaran PHBM di NTB. Laporan Hasil. Kemitraan Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

About

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×