Kamis, 08 Agustus 2013

Dampak Ekonomi Produksi dan Produktifitas Padi




Oleh
Arya Ahsani Takwim
(Mahasiswa Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering
Universitas Mataram)

Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi yang berdampak pada kenaikan harga pangan dan energi, sehingga negara-negara pengekspor pangan cenderung menahan produknya untuk dijadikan stok pangan. Mengingat kondisi global tersebut juga terjadi di Indonesia, maka ke depan Indonesia dituntut untuk terus meningkatkan ketahanan pangan agar mampu menyediakan pangan yang cukup bagi penduduknya. Mengingat strategisnya pembangunan pertanian, maka pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan pada upaya meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga mampu untuk menggerakkan perekonomian nasional melalui kontribusinya dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara dan sumber pendapatan masyarakat serta berperan dalam pelestarian lingkungan melalui praktik budidaya pertanian yang ramah lingkungan. Untuk mencapai hal ini, arah kebijakan dan strategi yang ditempuh sampai 2011 diakumulasikan pada program pembangunan pertanian 2011. Sebagaimana yang tertuang dalam kontrak kinerja Mentri Pertanian dengan Presiden RI dalam kabinet jilid II. Point pertama yang penting di ingat adalah peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan.
Hal ini mempunyai arti penting yang sangat sangat strategis terutama bagi kesejahteraan padi. Peran beras dalam perekonomian Indonesia masih cukup besar. Ada empat indikator yang dapat digunakan untuk menilai peran tersebut yaitu (a) usaha tani padi menghidupi sekitar 20 juta keluarga petani dan buruh tani, serta menjadi urat nadi perekonomian pedesaan; (b) permintaan terhadap beras terus meningkat seiring dengan perambahan jumlah penduduk karena belum berhasilnya program diservisifikasi pangan; (c) produksi beras di Indonesia masih menujukkan kecenderungan yang fluktuatif akibat bencana alam, serangan hama penyakit dan kenaikan harga pupuk dan pepstisida; dan (d) usaha tani padi masih menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan. 
Sejalan dengan hal itu, maka dalam tulisan ini akan menguraikan bagaimana sesungguhnya dampak ekonomi dari produksi dan produktivitas padi, berdasarkan data yang di olah dari berbagai sumber. Dampak ini akan di lihat dari berbagai sudut. Berdasarkan data yang ada, perkembangan produksi, produktivitas dan luas panen padi pasca swasembada beras dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007 menunjukkan angka yang berfluktuasi, namun cenderung meningkat, yaitu dari 10.733.830 ha pada tahun 1994 menjadi 12.165.607 ha pada tahun 2007 dengan rata-rata laju pertumbuhan luas lahan sekitar 0,94 persen per tahun. Untuk produksi padi dari tahun 1994 sampai tahun 2007 dengan laju pertumbuhan rata-rata produksi padi sekitar 1,48 persen per tahun. Produktivitas padi juga meningkat dari tahun 1994 sampai tahun 2007, dengan laju pertumbuhan rata-rata produktivitas sekitar 0,56 persen per tahun.
Berdasarkan data yang ada, di ketahui bahwa perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi sangat rendah. Padahal diketahui program intensifikasi telah dilakukan. Hal ini mungkin saja dapat terjadi disebabkan oleh degradasi lahan, terutama pada sawah produktif yang selama ini  digunakan untuk intensifikasi usahatani padi.
Pada tahun 2008, ada perbedaan data antara Departemen Pertanian (Deptan), dan Badan Pusat Statistik (BPS), dan berdebat soal produksi padi nasional 2008. Deptan memprediksi produksi padi nasional, hanya sekitar 54,433 juta ton. Hanya ada peningkatan ratusan ribu ton dibanding produksi tahun 2007. Sebaliknya BPS mengatakan bahwa produksi padi nasional 58,2 juta ton, berarti ada kenaikan 1 juta ton dari produksi sebelumnya yang 57,03 juta ton. Beda pendapat dengan selisih angka yang cukup besar ini, bisa beresiko fatal bagi kebijakan pangan nasional, baik untuk impor, maupun ekspor beras. Dalam menghitung prediksi panen, Deptan menggunakan luas areal tanam, dari tingkat kecamatan, melalui Dinas Pertanian Kabupatan. BPS, sebenarnya juga punya aparat sampai dengan tingkat kecamatan, untuk menghitung beberapa indeks, termasuk luas areal tanam padi. Dinas Pertanian di tingkat kabupaten, tidak berurusan dengan statistik, melainkan peningkatan produksi, melalui penyuluhan.
Logikanya, angka-angka yang ditampilkan oleh BPS lebih akurat, dibanding angka-angka yang ditampilkan oleh Deptan. Tetapi peningkatan angka produksi yang demikian hebat, tentu meragukan banyak pihak. Sebab berdasarkan data resmi FAO selama lima tahun terakhir, produksi padi nasional Indonesia tercatat  50,460,800 (2001), 51.489.700 (2002), 52.137.600 (2003), 54.088.470 (2004), dan 53.984.590 ton (2005). Dari 2001 sampai dengan 2005, kenaikan produksi padi Indonesia rata-rata hanya 1,66%. Dengan patokan tersebut, logikanya produksi padi nasional tahun 2008 memang bisa mencapai 56,7 juta ton.
Dengan menggunakan logika di atas, perkiraan angka produksi beras nasional pada tahun 2008 hanya sekitar 56,7 juta  ton. Hingga angka produksi gabah hasil perhitungan  BPS yang mencapai 58,2 juta ton, pada tahun 2008 ini, masih terlalu tinggi. Dengan melihat angka produksi selama 2001 – 2005 versi FAO, maka angka produksi versi Deptan lebih bisa dipercaya. Sebab pada tahun 2005, produksi gabah 53,984 juta ton, justru mengalami penurunan, dibanding produksi nasional 2004 yang mencapai 54,088 juta ton.
Peningkatan atau penurunan produksi gabah nasional di Indonesia, selalu masih disebabkan oleh faktor alam. Baik berupa gangguan cuaca, maupun serangan hama serta penyakit tanaman. Faktor banjir dan kekeringan, merupakan penyebab gagal panen paling besar. Penurunan angka produksi gabah nasional tahun 2005, terutama disebabkan oleh faktor banjir, dan kekeringan. Hama yang paling banyak menyerang tanaman padi adalah wereng, walang sangit, dan tikus. Penyakit padi yang paling ganas adalah tungro. Produktivitas padi Indonesia, sebenarnya cenderung terus menurun. Peningkatan produktivitas melalui pencetakan sawah baru, terutama di luar Jawa, tidak pernah bisa mengimbangi alih fungsi lahan sawah untuk keperluan non pertanian, terutama di Jawa.
Pada tahun 2010 dikaitkan dengan  produksi beras dan inflasi, terjadi pergerakan inflasi antara tahun 2009 dan 2010 menunjukkan hal yang berlawanan. Tahun 2009 trend laju inflasi menurun sementara tahun 2010 trend laju inflasi meningkat. Tahun 2009 dimulai dengan inflasi yang cukup tinggi yakni 9.17% namun di akhir tahun tingkat inflasi tersebut dapat turun secara signifikan menjadi 2.78%. Sementara untuk tahun 2010, inflasi dimulai dari level yang rendah yakni 3,72 %, namun ditutup dengan level inflasi yang lebih tinggi yaitu 6.96%. Inflasi sebesar 6,96% tergolong tinggi. Penyebab tingginya inflasi didominasi oleh tekanan bahan pangan yang antara lain disebabkan terkendalanya pencapaian target produksi pangan akibat anomali cuaca. Kondisi cuaca yang tidak normal mengakibatkan menurunnya pasokan beberapa komoditas pertanian seperti cabe merah dan cabe rawit sehingga tidak dapat menahan lonjakan harga komoditas tersebut. Selain itu, kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar dunia pada akhir tahun 2010 mendorong kenaikan harga minyak goreng domestik dan menjadi salah satu penyumbang inflasi. Dengan perkembangan tersebut, inflasi kelompok volatile food pada Desember 2010 mencapai 3,29% (mtm) atau 17,74% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 1,69% (mtm) atau 13,77% (yoy) (Tinjauan Kebijakan Moneter BI-Januari 2011).
Perubahan cuaca ini tak hanya melanda Indonesia, tapi juga melanda hampir semua negara di dunia. Perubahan cuaca tersebut membuat laju inflasi volatile food mencatat kenaikan tertinggi.
Berdasarkan data yang ada juga dapat di lihat inflasi kelompok bahan pangan pada bulan Desember 2010 mencapai 2,81%. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi dari inflasi bahan pangan itu, beras merupakan komoditas terbesar penyumbang inflasi, yakni sebesar 1,29% dan komoditi terbesar penyumbang inflasi tahun 2010 adalah beras (1,29%) dan dilanjutkan dengan tarif listrik sebesar 0,36 persen dan cabai merah sebesar 0,32 persen. Tingkat inflasi beras yang tinggi akan menggerus daya beli masyarakat dikarenakan beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Keadaan ini selanjutnya akan meningkatkan garis batas kemiskinan sehingga berpotensi untuk meningkatkan jumlah masyarakat miskin. Kenaikan harga beras salah satu penyebab mahalnya harga beras adalah menurunnya pertumbuhan produksi padi antara lain akibat imbas dari perubahan cuaca. Perubahan cuaca tersebut juga telah membuat negara pengekspor beras utama dunia yaitu Vietnam dan Thailand melakukan pengetatan ekspor beras. Meskipun kedua negara ini mengalami surplus beras, mereka telah mengumumkan bahwa akan membatasi ekspor beras terkait anomali cuaca yang melanda. Hal ini menjadi sinyal kuat bagi Indonesia bahwa pengendalian harga beras tidak dapat diandalkan melalui impor. Berikut pergerakan harga beras domestik tahun 2010:
Trend meningkatnya harga beras memang tak lepas dari hukum permintaan dan penawaran barang. Indonesia sebagai negara Asia dengan konsumsi beras sangat tinggi yakni mencapai 139 kg per kapita per tahun. Padahal negara-negara Asia lainnya tak lebih dari 100 kg per kapita per tahun. Dengan demikian, total permintaan beras Indonesia menjadi sangat besar mengingat jumlah penduduknya lebih dari 230 juta jiwa. Permintaan terhadap beras yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras yang memadai di dalam negeri. Pada saat ini jumlah permintaan dan penawaran beras di Indonesia relatif berimbang, dalam arti jumlah yang tersedia dan jumlah yang dikonsumsi berselisih tipis. Keadaan tersebut sangat riskan, karena apabila terjadi goncangan permintaan atau penawaran, harga beras akan mudah berfluktuasi. Disamping itu, cadangan beras untuk pengamanan ketersedian oleh Pemerintah dilakukan dengan kebijakan impor. Instrumen impor inilah yang digunakan dalam mengantisipasi perilaku pasar agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang justru memperkeruh pasar seperti aksi-aksi spekulasi. (Warta Ekonomi, No.26/XXII/29 Desember 2010-12 Januari 2011).
Mengandalkan pengamanan stok beras kepada impor merupakan problematika tersendiri. Misalnya, pada saat terjadi perubahan cuaca seperti sekarang ini, membuat negara eksportir beras mengamankan cadangan berasnya sendiri dengan menutup keran eskpor. Dengan demikian Indonesia tidak lagi dapat menggantungkan diri pada instrumen impor. Tak ada pilihan lain, Indonesia harus meningkatkan produktivitas beras dalam negeri. Salah satunya dengan memberikan insentif dan fasilitas tambahan kepada petani agar petani lebih bergairah, terutama jaminan harga jual padi pada musim panen. Indonesia sebetulnya memiliki kisah sukses dalam meningkatkan produksi beras nasional pada tahun 2007, 2008 dan 2009. Namun demikian, turunnya tingkat pertumbuhan produksi padi tahun 2010 antara lain, berkemungkinan disebabkan oleh:
· Mengendurnya komitmen untuk peningkatan produksi yang selama ini diimplementasikan didalam GP2BN. Kini GP2BN sudah tidak terdengar lagi gaungnya bahkan di website Kementerian Pertanian gerakan ini sudah tidak ditemukan sejak tahun 2009. 
·   Tim monitoring yang anggotanya terdiri dari berbagai instansi seperti Ditjen Tanaman Pangan, BPS, Bulog, BPKP, Setwapres, PT.PUSRI (pupuk), PT. Sang Hyang Sri (benih) sejak tahun 2009 sudah tidak melakukan kegiatan monitoring. Tim monitoring terpadu ini selain berperan melakukan pemantauan di sentra-sentra produksi sekaligus juga berperan menyelesaikan permasalahan di lapangan seperti pupuk yang tidak sampai kepada petani atau benih unggul yang belum tersedia maupun permasalahan hambatan administrasi dalam pengadaan benih. 
·   Faktor perubahan cuaca yang hampir sepanjang tahun ditandai oleh curah hujan yang cukup banyak mengakibatkan menurunnya produksi padi lebak, meningkatnya serangan hama tanaman dan rusaknya tanaman padi akibat terendam banjir serta sulitnya mengeringkan gabah hasil panen.

Rabu, 07 Agustus 2013

BASARHUT Oleh Kemenhut

Korupsi Kehutanan Mencapai Rp 273 Triliun

Korupsi Kehutanan Mencapai Rp 273 Triliun

Potret Kecil Hulu Jangkok




Oleh
Leolistari

(Penulis adalah Alumni Kehutanan Universitas Mataram Tahun Lulusan 2011 dan sejak 2013 melanjutkan Sekolah Pascasarjana di Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering Universitas Mastaram) 


Saat ini kita dihadapi oleh berbagai permasalahan lingkungan yang kian hari kian kompleks. Dari berbagai permasalahan tersebut yang cukup menjadi sorotan adalah terganggunya sumberdaya hutan sebagai catchman area (daerah tangkapan air). Baik yang diakibatkan oleh perambahan hutan, aktivitas illegal logging, aktivitas penduduk sepanjang bantaran sungai dan juga kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengurangi pencemaran aliran sungai dengan tidak membuang sampah. Aktivitas masyarakat yang sedimikian rupa, diyakini telah turut berkontribusi dalam kerusakan lingkungan terutama DAS (daerah aliran sungai). Hal ini juga terjadi di hulu DAS Jangkok.

Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi NTB laju kerusakan hutan dan lahan di NTB mencapai angka sekitar 47 persen dari 1.071.722 hektar luas total kawasan hutan. Kondisi ini telah berpengaruh nyata pada ketersediaan dan kualitas air. Menurut Laporan WWF (2012) Indeks Ketersediaan Air (IKA) Pulau Lombok mencapai 110 persen dan masuk dalam golongan ‘sangat kritis’ dengan kualitas air berada pada kategori tercemar ringan hingga berat. Kerusakan hutan pun makin diperkuat oleh lemahnya kapasitas masyarakat dalam hal akses terhadap sumberdaya penghidupan produktif, seperti : pemilikan lahan yang sempit (rata-rata 0.25 hektar/KK); rendahnya pendapatan dari usaha tani; dan kurangnya keterampilan berusaha di luar sektor pertanian. Karena itu, intervensi terhadap sumberdaya hutan menjadi tak terhindarkan.

Namun kondisi tersebut ternyata tidak mampu menjawab masalah kemiskinan di daerah ini. Saat ini saja, terdapat sekitar 40 persen dari penduduk miskin di NTB (894.770 jiwa) berada di kawasan hutan. Hal ini kemudian berdampak pada tingginya ketergantungan masyarakat miskin terhadap kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan pada gilirannya akan menurunkan potensi sumberdaya hayati (Konsepsi, 2013).

DAS Jangkok pada kondisi existing debit sungai sebesar 200,32 juta m3 dengan jumlah penduduk 108.606 jiwa, maka IKA sebesar 1.884 m3/kapita/tahun (kurang). Dengan laju pertumbuhan penduduk 1,8%/tahun maka jumlah penduduk pada tahun 2020 akan mencapai 136.954 jiwa. Sehingga apabila debit sungai eksisting tetap sebesar 200,32 juta m3 maka IKA pada tahun 2020 mencapai 1.463 m3/kapita/tahun (kurang) (WWF, 2008).

Melihat kondisi diatas, maka diperlukan upaya serius untuk meningkatkan debit sungai pada kondisi luasan hutan optimal. Tentunya dengan kualitas dan kontiyuitas dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Berdasarkan kondisi diatas, maka penting untuk melakukan kajian untuk memotret pengelolaan DAS di hulu DAS Jangkok terutama oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan Sesaot yang merupakan hulu dari DAS ini.

Alur untuk menggambarkan kondisi hulu DAS Jangkok secara terstruktur, berdasarkan isu terkini DAS di Provinsi NTB idelanya adalah seperti gambar di bawah ini:
Tulisan ini berdasarkan gambar diatas hanya mengulas mengenai kondisi hulu DAS Jangkok di lihat peranannya sebagai daerah tangkapan mengingat keterbatasan waktu sehingga bagi pembaca yang tertarik untuk lebih mendalami isu ini sangat dianjurkan.

Kita ketahui bersama, bahwa hulu DAS Jangkok merupakan kawasan hutan lindung Sesaot yang memiliki luas mencapai 5.950 hektar, terletak di bagian barat (barat daya) Gunung Rinjani dan merupakan daerah tangkapan air dari DAS ini. Kawasan ini mempunyai fungsi Hidrologi dan air permukaan yang ada sangat penting bagi masyarakat Lombok Barat dan Lombok Tengah bagian selatan, terlebih Kota Mataram. Baik untuk kebutuhan irigasi dan rumah tangga. Lebih dari 44 mata air dapat dijumpai di hutan lindung Sesaot yang mengalir  pada beberapa sungai (Kali JangkokEat Kumbi, Kali Timbesar, Kali SesaotKali Betuang dan Kali Binsua) hingga mengalir pada tiga sungai besar ke bagian hilir. Beberapa mata air besar yang menjadi sumber kehidupan adalah Ranget, Pengkukun, Sesaot, Aik Nyet, Pengkoak dan Orong Petung.

Kondisi umum vegetasi hutan lindung Sesaot, khusunya pada areal hutan buatan sebagian besar sudah ditumbuhi dengan tanaman Kopi yang hasilnya dimanfaatkan oleh masyarakat. Penduduk yang tinggal di sekitar kawasan lindung Sesaot cukup besar dan terbesar di 4 desa (Sedau, Lebah Sempaga,, Sesaot dan Batu Kumbung). Dari empat Desa, ada 12 Dusun yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung dan jumlah penduduknya kurang lebih mencapai 3.957 KK.
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terbatasnya  lahan hutan sebagai sumber mata pencaharian. Akan menyebabkan tekanan terhadap sumber daya hutan lindung Sesaot, terutama hasil hutan kayu. Khususnya  komoditi kayu bakar, sudah 35 tahun masyarakat memanfaatkan  untuk tujuan kebutuhan rumah tangga dan perdagangan. Hasil bersama masyarakat Sesaot, menghasilkan data bahwa  jumlah kayu bakar yang diambil dari kawasan hutan lindung Sesaot mencapai 25 m2 setiap harinya (LP3ES, 1997 dalam Takwim dan Tuarita, 2012).. Di tahun 2007, sehari 50 m3 kayu illegal keluar dari hutan Sesaot. Angka tersebut semakin besar jika menghitung kayu balok yang ditebang dan berlangsung secara illegal di hitung. Keadaan tersebut dalam konteks pemanfaatan hutan lindung Sesaot yang tidak terkendali, pada akhirnya  memberikan impilakasi  terhadap masalah kelestarian fungsi hutan lindung Sesaot dan sumberdaya air, baik masa sekarang dan akan datang
Saat ini, seluruh lahan didalam kawasan hutan lindung Sesaot yang sudah dimanfaatkan masyarakat (73%) sejak tahun 1951-2013 yang luasnya mencapai 3.672 ha. Artinya yang masih tersisa kurang dari 50% dari total luasan hutan Sesaot. Sehingga diperlukan upaya optimal agar kepentingan hidrologi, keanekaragaman hayati dan konservasi dapat terjamin. Tanggung jawab pelestarian secara menyeluruh melalui  pendekatan kawasan harus juga diakomodir. Karena faktanya masih, banyak lahan hutan yang dibuka secara illegal dan sulit dikontrol  baik oleh kelompok pengelola hutan maupun Dinas Kehutanan.
Hal ini telah berdampak pada banyaknya permasalahan yang timbul. Antara lain penurunan debit air sungai dari 1,92 m3/detik pada tahun 1998 menjadi 0,95 m3/detik di tahun 2007 atau sekitar 5.6%/tahun. Menurut laporan WWF (2008) kerusakan penutupan lahan telah mempengaruhi peningkatan aliran air permukaan tahunan (8,7%/tahun) dengan tingkat polusi sedang hingga parah dari polutan industri dan rumah tangga, limbah pertanian dan perikanan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya ketersediaan air (-1,178.45 Mm3/tahun) di Lombok.
Untuk dapat menjawab permasalahan DAS Jangkok di bagian hulu maka beberapa upaya-upaya nyata yang dapat dilakukan adalah dengan (1) Meningkatkan penghidupan masyarakat, khususnya di wilayah hulu (2) Akses masyarakat terhadap pengelolaan lahan di wilayah kawasan hutan lindung (3) Alternatif energi (bahan bakar) untuk rumah tangga dan industri rumah tangga (4) Perbaikan mekanisme jasa lingkungan untuk mendukung masyarakat dalam pengelolaan hutan dan DAS (5) Perlu diupayakan pengelolaan DAS secara terpadu.
Dari tulisan ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
(1) Diindikasikan telah terjadi kerusakan di hulu DAS Jangkok yang dapat mengganggu fungsi hidrologi dan kelestarian hutan.
(2) Tekanan masyarakat terhadap keberadaan hutan di hulu DAS Jangkok sulit untuk dihindari sehingga diperlukan kebijakan yang dapat mengakomodir masyarakat.
(3) Di perlukan upaya-upaya nyata semua pihak dalam mempertahankan fungsi DAS baik untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Konsepsi. 2013. Studi Kelembagaan HKm di Kawasan Hutan Lindung Batukliang Utara- Kabupaten Lombok Tengah. Konsepsi bekerjasama dengan KOICA.
Takwim, A., Turita, A. 2012. Profil Hutan Kemasyarakatan Sesaot dan Santong. Konsepsi. NTB

WWF. 2008. Studi Analisis Hidrologis dan Perubahan Tutupan Lahan (land use land cover change) Kawasan Gunung Rinjani, Lombok. WWF bekerjasama dengan Pemda NTB, BPK Mataram, BPDAS Dodokan Moyosari.

Hutan Kemasyarakatan


Kebijakan HKm Berubah dari waktu ke waktu:
(Sebuah Penelusuran)

Oleh 
Arya Ahsani Takwim

Kebijakan mengenai HKm berubah dari waktu ke waktu. Pada tingkat nasional, kebijakan mengenai HKm dimulai sejak tahun 1995 dengan dikeluarkannya beberapa surat keputusan menteri kehutanan dan peraturan menteri kehutanan dan perkebunan. Selanjutnya, kebijakan tersebut direspon oleh pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten dengan terbitnya peraturan daerah dan surat keputusan bupati. Secara keseluruhan perubahan kebijakan pemerintah tentang HKm mengarah pada perubahan konsep/definisi HKm, baik hak dan kewajiban masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan HKm (Dipokusumo 2011).
Dari gambaran informasi kebijakan diatas, tentang HKm sampai tahun 2011. Pada tingkat nasional dapat dilihat, bahwa telah terbit empat surat keputusan menteri kehutanan dan perkebunan, satu peraturan pemerintah dan satu peraturan menteri kehutanan. Sementara kebijakan di tingkat provinsi berupa terbitnya satu peraturan daerah (perda). Di tingkat kabupaten sendiri telah terbit dua peraturan daerah (perda) dan satu surat keputusan, dimana isi dari kebijakan HKm provinsi dan kabupaten umumnya merupakan turunan dari kebijakan HKm ditingkat Nasional. Perubahan konsep mengarah pada penegasan bahwa HKm merupakan hutan negara, sedangkan perubahan hak meliputi perubahan waktu pengelolaan dan mekanisme dari pengelolaan. Sementara itu perubahan kewajiban meliputi perlindungan kawasan dan mekanisme pembayaran insentif atas pengelolaan kawasan HKm. Perubahan kebijakan pemerintah sesungguhnya sebagai langkah kearah perbaikan dan penyempurnaan isi sehingga terjadi konsistensi antara maksud dan tujuan tentang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan dikaitkan dengan implementasinya. Perubahan tersebut semakin memperlihatkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin yang berdomisili disekitar kawasan hutan.
SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menhut No.677/Kpts-II/1998 jo. No.865/Kpts-II/1999, SK Menhut No.31/Kpts-II/2001, hingga saat ini masih lebih sebagai wacana orang-orang pusat (Ditjen RLPS Dephut RI) ketimbang sebagai wacana Pemda. Gambaran ini terlihat ketika SK ini belum secara inheren masuk dalam kesadaran dan kebijakan yuridis pemerintah kabupaten.
Terlepas dari itu, melihat SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 tentang pedoman hutan kemasyarakatan, mendefinisikan HKm sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat. Artinya bahwa, HKm dilaksanakan di hutan dengan tujuan lebih ditekankan pada pelibatan masyarakat, sedangkan di dalam SK Menhut No.677/Kpts-II/1998 jo. No.865/Kpts-II/1999, SK Menhut No.31/Kpts-II/2001 sampai dengan terbitnya PP No.6 tahun 2007 dan Permenhut P.37 mendefinisikan HKm sebagai hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Definisi HKm ini lebih menekankan pada tujuan pemberdayaan masyarakat. Dalam definisi tersebut juga telah menegaskan status hutan bahwa HKm termasuk dalam hutan negara yang areal kerjanya dapat ditetapkan di hutan lindung dan hutan produksi. Sekilas terlihat adanya kelemahan pada SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 dalam menjelaskan definisi HKm yang dapat memberikan peluang di dalam perubahan status lahan (hutan). Penegasan areal kerja HKm pada kawasan hutan negara pada SK Menhut No.677/Kpts-II/1998, menjadi penting untuk menghindari adanya penyerobotan kawasan hutan dan perubahan status lahan oleh pengelola HKm.
Dalam hal jangka waktu pengelolaan kawasan, berdasarkan SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 bahwa jangka waktu pengelolaan HKm hanya 5 tahun dan dapat diperpanjang, sementara berdasarkan SK Menhut Nomor:677/Kpts-II/1998; SK Menurut Nomor 31/Kpts-II/2001 dan sampai dengan Peraturan Pemerintah No.6/2007; P.37/Menhut-II/2007 bahwa jangka waktu pengelolaan HKm selama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Perubahan dari jangka waktu pengelolaan ini, memperlihatkan kesungguhan pemerintah untuk menjamin kepastian hak kelola masyarakat di dalam memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu serta jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya.
Kemudian terjadi juga perkembangan hak yang diberikan kepada masyarakat pengelola HKm dalam bentuk izin pemanfaatan hasil hutan. SK Menhut No.622/Kpts-II/1995 hanya memberikan hak terbatas pada pemanfaatan kawasan berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan. Selanjutnya terjadi perkembangan dengan memberikan hak yang lebih luas pada pemanfaatan kawasan HKm melalui SK Menhut No.677/Kpts-II/1998, Peraturan Pemerintah No.6/2007 dan P.37/Menhut-II/2007, melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HKm (IUPHHK-HKm) yang terbatas pada hutan produksi.
Meskipun mendapat ruang di dalam Peraturan Perundang-undangan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu pada HKm, namun sampai saat ini belum ada masyarakat pengelola HKm yang dapat memanen kayu dari HKm. Padahal fakta di lapangan (HKm Santong) menunjukkan bahwa kayu yang ada di HKm saat ini secara keseluruhan sudah layak tebang. Hal ini bukan dikarenakan kemampuan teknologi, pendanaan dan ketidakefesienan lahan kelola masyarakat tetapi lebih dikarenakan adanya klausul pada Permenhut P.37/2007 dimana hasil hutan kayu (HHK) yang dapat dipanen merupakan hasil dari penanaman masyarakat sendiri, sehingga menyebabkan polemik baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Hal ini kemudian memunculkan wacana baru di tengah masyarakat bahwa pelibatan masyarakat dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan (utamanya kayu), hanya dikenal dalam terminologi izin pemanfaatan kayu di atas tanah milik (IPKTM). Kebijakan yuridis mengenai pemberian konsesi pengelolaan/pemanfaatan hutan yang menjamin nuansa kemasyarakatan nyaris seluruhnya tak mengandung makna sadar untuk mendorong proses optimalisasi akses pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat.

Pengelolaan Hutan oleh Negara dan Rakyat


Kutukan Sumber Daya Alam
(Kasus di Hutan Kemasyarakatan Batukliang Utara Lombok Tengah)

Oleh:
Arya Ahsani Takwim,



Sumberdaya alam yang ada di bumi ini sangat bermanfaat sebagai sarana penunjang kehidupan masyarakat sekaligus menjadi sumber pendapatan masyarakat dan hingga saat ini, fungsi tersebut tidak berubah. Namun demikian, peran vital sumberdaya alam bagi kehidupan masyarakat, dapat menjadikan ini sebagai sumber konflik. Bahkan lebih dari itu, suatu negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dapat mengundang perhatian dan inovasi dari negara lain yang tamak untuk menguasainya. Menguasai daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang mereka temui untuk dieksploitasi dan dihisap.

Potret di atas dapat dilihat di negara kita, Indonesia. Indonesia dikaruniai sumberdaya alam yang begitu berlimpah baik yang terdapat di dalam bumi, air maupun di udara. Potensi sumberdaya alam berupa rempah-rempah, minyak, emas, besi, batubara, serta hutan yang berada dalam kesatuan republik Indonesia bila dimanfaatkan secara optimal tentunya akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Namun sebaliknya, kondisi saat ini jauh berbeda dengan harapan. Sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak jatuh manfaatnya kepada masyarakat. Bangsa Indonesia menghadapi masalah ekonomi yang oleh ekonom Barat disebut sebagai kutukan sumberdaya alam (natural resourse curse). Kutukan sumberdaya alam dapat diartikan sebagai negara yang kaya akan sumberdaya hutan tetapi penduduknya miskin. Hal ini dikarenakan adanya ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang menyebabkan terjadinya korupsi masif dan disertai terjadinya kemiskinan serta memasukkan negara mereka ke dalam kelompok negara miskin (Authy, 1993).

Pengelolaan Hutan
Dalam konteks kutukan sumberdaya alam berdasarkan pandangan diatas. Menjadi penting untuk membahas bagaimana ketergantungan sumberdaya alam terhadap peningkatan kebutuhan ekonomi masyarakat. Dalam tulisan ini, kami mencoba lebih mengkrucutkan kutukan sumberdaya alam yang akan dibahas dengan menitikberatkan pada sumberdaya hutan. Pengelolaan sumberdaya khususnya hutan di Indonesia, memang tidak dapat dilepaskan dari khususnya pasal 33 UU 1945 dan atas dasar itu pula tidak dapat dipisahkan dari UU Pokok Agraria No.5/1960 dan UU Kehutanan No.41/1999.

Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat memang diberi kewenangan mengelola hutan, akan tetapi itu ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Menurut Suharjito (1999) untuk mencapai hal dimaksud diatas, tahun 1972 negara mulai mengeskploitasi hutan secara besar-besaran diluar Jawa dan sekaligus juga menimbulkan kesadaran akan pengelolaan lingkungan.Hal ini dikarenakan dengan terus melakukan eksploitasi hutan secara besar-besaran untuk memperoleh devisa bagi Negara. Disisi lain, kejadian bencana (alam dan sosial) terjadi dimana-mana akibat ketimpangan dalam pengelolaan hutan. Melihat hal tersebut pemerintah mengeluarkan dua program yakni pemberian pengelolaan hutan (konsesi) pada para pemodal besar, baik asing maupun dalam negeri dan pembentukan Komite Nasional untuk Man dan The Biosphere.

Menurut Direktorat Jendral Kehutanan (S. Sastrapradja, 1978:13. MAB) pada tahun 1977, HPH (Hak Pengusahaan Hutan) sudah diberikan lebih dari 300 konsessioner dan mencakup sekitar 28 ha hutan. Lemahnya pengawasan yang dilakukan, eksploitasi oleh HPH menjadi tidak terkendali dan berdampak pada rusaknya hutan Indonesia. Mengenai deforestasi memasuki tahun 1990, beberapa angka perkiraan pun bermunculan, kerusakan hutan berkisar 0,8 juta ha (Departemen Kehutanan) sampai 1,3 juta ha (FAO) sedangkan bank dunia (1994) memperkirakan 0,9 juta ha/tahun. Dari angka perkiraan tersebut nyata bahwa pengawasan yang dilakukan tidak ketat. Praktek illegal logging akan lebih sulit lagi dipastikan.

Kerusakan hutan Indonesia terus terjadi sampai saat ini. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia, Dinas Kehutanan NTB (2012) mencatat tingkat kerusakan hutan dan lahan sekitar 47 persen dari 1.071.722 hektar luas total kawasan hutan. Kondisi ini telah berpengaruh nyata pada ketersediaan dan kualitas air. Menurut Laporan WWF (2012) Indeks Ketersediaan Air (IKA) Pulau Lombok mencapai 110 persen dan masuk dalam golongan ‘sangat kritis’ dengan kualitas air berada pada kategori tercemar ringan hingga berat. Kerusakan hutan pun makin diperkuat oleh lemahnya kapasitas masyarakat dalam hal akses terhadap sumberdaya penghidupan produktif, seperti : pemilikan lahan yang sempit (rata-rata 0.25 hektar/KK); rendahnya pendapatan dari usaha tani; dan kurangnya keterampilan berusaha di luar sektor pertanian. Karena itu, intervensi terhadap sumberdaya hutan menjadi tak terhindarkan. Namun kondisi tersebut ternyata tidak mampu menjawab masalah kemiskinan di daerah ini. Saat ini saja, terdapat sekitar 40 persen dari penduduk miskin di NTB (894.770 jiwa) berada di kawasan hutan. Hal ini kemudian berdampak pada tinggi ketergantungan masyarakat miskin terhadap kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan pada gilirannya akan menurunkan potensi sumberdaya hayati.  

Untuk menjawab dua persoalan diatas, yakni kemiskinan dan kerusakan hutan. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang memperhatikan dinamika dan aspirasi lokal, terutama eksistensi masyarakat yang sudah mengelola kawasan hutan secara turun-temurun. Kebijakan tersebut adalah HKm (Hutan Kemasyarakatan). Bagi sejumlah kalangan, HKm dipandang cukup efektif sebagai satu langkah langkah kompromi strategis baik dalam hubungannya dengan penyelesaian konflik pemanfatan sumber daya hutan maupun pemecahan masalah kemiskinan dan pemanfaatan kekuatan lokal dalam pelestarian hutan itu sendiri.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan satu terobosan penting kebijakan pembangunan kehutanan nasional. Karena, skema ini memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku utama pengelolaan sumberdaya hutan dalam rangka mewujudkan kelestarian kawasan (aspek ekologi) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (aspek ekonomi). Dalam pelaksanaannya, izin kelola HKm diberikan secara kolektif melalui kelembagaan lokal (aspek sosial) yang didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat: manfaat dan lestari; swadaya; kebersamaan dan kemitraan; keterpaduan antar sektor; bertahap; berkelanjutan; spesifik lokal; dan adaptif.

Lemahnya kapasitas sumberdaya pengelola (SDM, Kelembagaan, dana) masih menjadi hambatan untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan dari dikeluarkannya kebijakan tersebut. Kondisi ini dapat ditemukan pada pelaksanaan HKm Batukliang Utara dimana masyarakat diberikan ruang untuk dapat menanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sejak diberikannya hak pengelolaan tersebut oleh negara padata tahun 2009, masyarakat belum mendapatkan hasil optimal atas keberadaan sumberdaya hutan tersebut. Sehingga menjadi penting untuk membahas lebih dalam terkait pengelolaan hutan di Batukliang Utara dengan skema HKm; kutukan sumberdaya alam.

Tujuan
Secara umum, tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan pengelolaan hutan dengan skema HKm di Batukliang Utara dikaitkan dengan praktek-praktek tata kelolanya (kontekstual). Gambaran akan kondisi pengelolaan hutan di lapangan menjadi penting jika dikaitkan dengan kemiskinan masyarakat sekitar (kutukan sumberdaya hutan).


BAB II.
Pengelolaan Hutan; Kutukan Sumberdaya Hutan
KAJIAN PUSTAKA



Pengelolaan Hutan dengan Skema HKm
Pengelolaan hutan di Indonesia bila dilihat secara kasat mata cenderung diarahkan pada pembangunan yang lebih banyak dalam bentuk eksploitasi untuk mendukung industri ketimbang konservasi dan telah berdampak pada kerusakan serta menurunnya fungsi kawasan (degradasi). Pengelolaan hutan seharusnya lebih dapat menekankan pada aspek konservasi dan bukan lagi eksploitasi. Perubahan paradigma pengelolaan hutan yang ditunjukkan dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan di tujukan agar dapat menjawab masalah degradasi. Masyarakat, secara khusus petani di dalam dan di sekitar hutan menjadi pelaku konservasinya sekaligus bertanggungjawab atas keberlanjutan konservasi di wilayahnya.

Perubahan paradigma pengelolaan hutan oleh masyarakat mengandung makna bahwa hutan sebagai bagian dari masyarakat dan sekaligus masyarakat sebagai bagian dari hutan. Menurut Awang (2001) bahwa hutan dan rakyat merupakan dua kata kunci penting yang menjadi dasar dari pengelolaan hutan, perhutanan sosial menempatkan hutan dan rakyat sebagai yang utama dan terpenting. Keduanya memiliki hubungan tak terpisahkan satu dengan yang lain dan memisahkannya akan menciptakan masalah. Karenanya, penting untuk memberikan ketegasan tentang sistem pengelolaan hutan bagi masyarakat dalam bentuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan yang berada di dalamnya. Dengan demikian masyarakat di dalam dan di sekitar hutan harus menjadi sejahterah secara berkelanjutan.

Hutan kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu bentuk dari pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sebagai kontekstualisasi social forestry (perhutanan sosial) di Indonesia. Pola HKm ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tanpa mengganggu fungsi pokok hutan terutama bagi mereka yang memiliki ketergantungan tinggi pada keberadaan kawasan hutan dengan sistem pendekatan areal kelola/hamparan kelola (Hakim, dkk., 2010).  Hutan Kemasyarakat (HKm) menurut Suhardjito (2009) merupakan bentuk kebijakan devolusi pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Karena HKm (bersama HTR dan HD) membuka peluang lebih besar kepada masyarakat sekitar hutan untuk akses pada dan memegang hak pengelolaan atas sumber daya hutan yang dikuasai negara dengan suatu jaminan kepastian (secara hukum) yang lebih kuat.

Hak masyarakat relatif aman dalam jangka panjang dengan forest tenure security-nya kuat karena berlaku selama 35 tahun dan dapat diperbaharui atau diperpanjang. Jika mengacu pada Ostrom dan Schlager (1996 : 133) maka hak masyarakat (perorangan atau kelompok atau koperasi) dalam program HKm tersebut terdiri dari : hak mengelola (management) dan eksklusi (exclusion). Suhardjito (2009) menjelaskan bentuk-bentuk hak tersebut meliputi : memungut hasil hutan, memasuki wilayah hutan dengan batas-batas fisik dan memperoleh manfaat yang tergolong non-subtractive (seperti : menikmati udara sejuk-segar, pemandangan yang indah, suara kicauan burung atau fauna lainnya atau gesekan dedaunan). Meskipun demikian, hak-hak masyarakat dimaksud masih dibatasi oleh kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan oleh pemerintah kepada masyarakat.

Kebijakan HKm dan Kutukan Sumberdaya Alam
Kutukan sumberdaya alam  merupakan sebuah fenomena dimana daerah-daerah yang kaya sumber daya alam mengalami sebuah kondisi dimana pertumbuhan perekonomian mereka tidak sepesat daerah yang tidak memiliki kekayaan alam. Bahkan dapat dikatakan bahwa kekayaan alam yang mereka miliki justru membawa masyarakat yang hidup dalam daerah tersebut kesebuah hidup di dalam garis kemiskinan.  Dalam hal pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan skema HKm, kutukan sumberdaya alam dapat dilihat dari aspek kebijakan.

Dalam tulisan ini aspek kebijakan diulas secara normatif, dimana prinsip pemberdayaan masyarakat dan pemberian ruang dan akses kelola masyarakat melalui HKm sebagaimana muatan Permenhut 37/2007 sejalan dengan PP No.6/2007 dan UU 41/1999. Namun demikian, masih terdapat konflik dan ketidakselarasan UU 41/1999 dengan UU lainnya bahkan dengan aturan lebih tinggi. Santosa dan Silalahi (2011 : 45) menjelaskan bahwa jika dalam UU Kehutanan, kawasan hutan semuanya adalah milik negara, namun pada UUD 1945 pasal 18 b, pasal 28 i dan pasal 32 (1) dinyatakan bahwa negara mengakui bahkan menjamin hak masyarakat adat.

Demikian juga, muatan di dalam Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Selain itu, UUPA No 5 tahun 1960 pasal 2 (4) menyatakan bahwa masyarakat hukum adat diberi semacam hak pengelolaan dan pada pasal 3 juga menyebutkan bahwa pengakuan hak komunal dapat dilakukan berupa hak ulayat dengan beberapa pembatasan dan prosedural yang ditetapkan oleh Permen Agraria dan Kepala BPN No.5 tahun 1999. Dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang disebutkan juga bahwa ruang pengakuan wilayah adat yaitu dengan mengakui wilayah adat sebagai wilayah dengan nilai strategis dan sebagai wilayah perdesaan.

Lebih lanjut, Santosa dan Silalahi (2011 : 46) mengidentifikasi sejumlah perbedaan dan konflik kebijakan yang terjadi antara aturan pelaksanaan HKm (termasuk HD dan HTR) dengan PP No.6 tahun 2007 dan UU Kehutanan No.41/1999 antara lain :
§  Dalam P.37/2007, bahwa penetapan HKm hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung saja. Sementara, pada PP 6/2007 pasal 95 bahwa HKm dapat juga ditetapkan pada kawasan Konservasi (kecuali Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional) selain kawasan HL dan HP. Pembatasan penetapan HKm pada berdasarkan P.37/2007 tersebut menjadi kendala dalam penetapan HKm di kawasan Tahura Sumber Agung dan Talang Mulya di Lampung dan kawasan Tahura Sesaot Lombok Barat.
§  Terdapat perbedaan definisi HHBK pada UU No.41/1999 dengan permenhut tentang HKm. Pada UU Kehutanan, tanaman kopi dan coklat bukan termasuk tanaman hutan sementara pada P 37/2007 kedua komoditas ini bisa masuk dalam HHBK. Dalam P.37/2007  pasal 17 ayat 5 berbunyi : “Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b angka 4 dalam hutan alam, antara lain berupa pemanfaatan: (a). rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil; (b). getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil”.
§  Setelah penetapan areal kelola, posisi HKm ini bersifat ijin. Dalam PP/2007 dan UU 41/1999 mengatur bahwa areal hutan yang telah mendapatkan ijin maka seluruh fasilitasi dan kewajiban difasilitasi oleh pemegang ijin. Pada Permenhut 37/2007 pasal 12 ayat 3 disebutkan bahwa fasilitasi HKm dalam pengembangan kelompok, pengajuan permohonan izin, penyusunan rencana kerja, hingga pemberdayaan dan pasar wajib dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dibantu pemerintah provinsi

BAB III
PEMBAHASAN

Pengelolaan Hutan di Batukliang Utara
Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui HKm dapat dibagi dalam 2 (dua) tahapan yakni : pertama, penetapan areal kerja HKm; kedua, perizinan terhadap usaha pemanfaatan kawasan HKm. Penetapan areal kerja HKm di Kawasan Batukliang (Hutan Lindung) dilakukan oleh Menteri Kehutanan RI berdasarkan :
a.       Pasal  93 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Menteri menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan;
b.      Pasal 7 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, areal kerja Hutan Kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Menteri berada pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat;
c.       Pasal 9 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang verifikasi usulan areal kerja Hutan Kemasyarakatan oleh Gubernur  atau Bupati/Walikota;
d.      Pasal 10 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang diterimanya hasil verifikasi usulan areal kerja Hutan Kemasyarakatan oleh Gubernur  atau Bupati/Walikota;

Berdasarkan sejumlah kerangka regulasi tersebut, Menteri Kehutanan RI selanjutnya telah menetapkan areal kerja Hutan Kemasyarakatan dengan SK. 436/Menhut-II/2007 tentang Penetapan Areal Kerja HKm di Kabupaten Lombok Tengah, tepatnya di kawasan Hutan Lindung Batukliang Utara seluas 1.089,5 Hektar; Selanjutnya, pengaturan pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) merupakan kewenangan dari Pemerintah Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) berdasarkan ketentuan pada :
a.       Pasal 96 ayat (1) huruf b, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008,  Gubernur, pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kewenangannya dan bupati/walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, yang meliputi kegiatan usaha pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu;
b.      Pasal 96 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007; Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diberikan kepada kelompok masyarakat setempat;
c.       Pasal 96 ayat (6), Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007; Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang.
d.      Pasal 14 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007, IUPHKm dapat diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan surat Keputusan Menteri;
e.       Pasal 19 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007, Bupati/ Walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan IUPHKm dengan tembusan kepada Menteri cq. Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Gubernur, dan Kepala KPH;
f.       SK. 436/Menhut-II/2007 tentang Penetapan Areal Kerja HKm di Kabupaten Lombok Tengah, tepatnya di kawasan Hutan Lindung Batukliang Utara seluas 1.089,5 Hektar;
g.      Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan;

Adapun keputusan Pemerintah Daerah terkait Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Kec. Batukliang Utara-Lombok Tengah, masing-masing :
-        SK. Bupati Lombok Tengah Nomor 38/2010 tanggal 10 Februari 2010 kepada Kelompok Serba Usaha (KSU) Mele Maju – Desa Lantan, areal seluas 349 hektar;
-        SK. Bupati Lombok Tengah Nomor 39/2010 tanggal 10 Februari 2010 kepada Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Karang Sidemen, areal seluas 403 hektar;
-        SK. Bupati Lombok Tengah Nomor 160/2010 tanggal 12 April 2010 kepada Majelis Ta’lim Darus Shidiqien Desa Setiling, areal seluas 217,5 hektar;
-        SK. Bupati Lombok Tengah Nomor 155/2010 tanggal 16 April 2010 kepada Gapoktan Rimba Lestari Desa Aik Berik, areal seluas 840 hektar;

Paska di keluarkannya legalitas pemanfaatan hutan kepada masyarakat oleh negara. Maka masyarakat melakukan perencanaan pemanfaatan kawasan dalam bentuk rencana kerja tahunan (selama 35 tahun) terkait tata kelola kawasan, tata kelola kelembagaan dan tata kelola usaha yang ditujukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengurangi fungsi dari kawasan hutan. Dari hasil studi-studi yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian Samad (2012) menunjukkan bahwa sebagian besar responden petani HKm Batukliang Utara memperoleh rata-rata pendapatan dari lahan HKm sebesar Rp.5.001.851,- per tahun atau Rp.416.000,- per bulan. Perhitungan pendapatan ini jauh berbeda dengan hasil Dipokusumo (2011) yang menghitung pendapatan petani dari lahan HKm sebesar Rp.2.261.699 per tahun atau sekitar Rp.188.472 per bulan.

Padahal, bila dilihat dari kondisi biofisik yang terdapat di HKm Batu Kliangutara. HKm tersebut memiliki begitu banyak potensi yang dapat digali untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani pengelola HKm. Mulai dari keunggulan biofisik (benang stokel dan benang kelambu) sebagai salah satu destinasi wisata di Lombok Tengah. Ketersedian air yang begitu besar untuk menyuplai kebutuhan air bersih, irigasi dsb untuk wilayah-wilayah di sekitarnya sampai wilayah Lombok Selatan. Namun, fakta tersebut berbanding terbalik dengan pendapatan yang diperoleh oleh petani selama ini.

Fakta ini dapat dikaitkan dalam konteks teori kutukan sumberdaya alam dimana suatu daerah yang kaya akan sumberdaya, karena ‘salah urus’ maka masyarakatnya menjadi miskin. Pemerintah sebagai diamanatkan di dalam undang-undang diberikan kewenangan untuk mengatur, memfasilitasi masyarakat di dalam upaya mendukung pelestarian kawasan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, bila di lihat dari alokasi anggaran oleh negara dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Tengah relatif kecil dan mengalami fluktuasi selama kurun waktu 2008-2012.

Pada tahun 2008, Dishutbun mendapat alokasi APBD sebesar Rp. 8,8 Miliar dan turun 22.57 persen hingga menjadi Rp. 6,83 di tahun berikutnya. Tahun 2010, jumlah tersebut mengalami sedikit penurunan sekitar 2.09 persen dari tahun sebelumnya sehingga mendapat alokasi sekitar Rp. 6,7 Miliar. Alokasi ini naik sebesar 8,1 persen menjadi Rp. 7,2 Miliar pada tahun 2011. Selanjutnya, APBD Dishutbun mengalami kenaikan cukup besar yakni 45.7 persen dengan alokasi sekitar Rp. 10,53 Miliar. Dari total APBD Dishutbun tersebut, proporsi belanja untuk HKm/HTR/HD sangat kecil yakni rata-rata 1.2 persen selama kurun waktu tersebut (Zaini, 2012). Pada tahun anggaran 2013, alokasi anggaran untuk HKm sebesar Rp. 100 juta dari APBD II guna membiayai kegiatan fasilitasi dan pendampingan kelompok.

Pengangaran yang demikian ini kemudian berdampak pada tidak optimalnya penyelenggaraan HKm di wilayah Batukliang Utara, baik dalam pengembangan kapasitas sumberdaya manusia pengelolaa HKm, perbaikan sarana prasarana penunjang HKm dan juga modal sebagai stimulant masyarakat untuk dapat meningkatkan nilai jual produk yang keluar dari HKm. Optimalisasi penyelenggaraan HKm bila berjalan dengan baik maka tentunya akan berdampak pada peningkatan asli daerah (PAD). Jika pendapatan daerah dari sektor kehutanan ini terutama dari HKm, dapat diterima secara maksimal dan dikelola dengan baik, maka pendapatan tersebut tentu akan dapat digunakan untuk mengembangkan daerah dan juga dapat digunakan untuk mengembangkan program-program pengentasan kemiskinan lainnya.
Beberapa kebijakan terkait dengan pemilihan jenis hasil hutan bukan kayu yang dapat dikembangkan oleh masyarakat juga tidak mengakomodir kepentingan lokal. Saat ini jenis tanaman yang banyak terdapat di dalam HKm dan juga merupakan tanaman yang dianggap mampu mendongkrak pendapatan petani pengelolaa HKm justru tidak mendapat ruang di dalam peraturan/kebikajan, sehinga tidak memilik prospek dan dukungan dari pemerintah untuk dapat dikembangkan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan dengan skema HKm yang mengamanatkan pemanfaatan hutan negara untuk kesejahteraan masyarakat serta perbaikan kualitas lingkungan. Dari studi kasus di Batukliang Utara diketahui bahwa daerah ini memiliki kekayaan sumberdaya. Namun, faktanya belum dapat menjawab persoalan pengentasan kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan dan politik anggaran yang belum memadai dari pemerintah sehingga penyelenggaraannya pun belum dapat dilakukan secara maksimal. 

Rekomendasi
      Untuk dapat menjawab tantangan/hambatan dalam penyelenggaran HKm di Batukliang Utara, berdasarkan dari gambaran di atas. Maka beberapa rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut:
1.      Diperlukan upaya optimalisasi potensi lokal sebagai bagian utama dalam proses penyelenggaraan HKm
2.      Diperlukan pengembangan dukungan multipihak dalam kerangka pengintegrasian penyelenggaraan HKm ke dalam rencana strategis pengembangan daerah dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Authy, R.M.1993. Sustaining Development in Mineral Economies: The Resources Curse Thesis.
Dipokusumo, B. 2011. Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan : Kasus Pembangunan HKm pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok. Disertasi. Sekolah Pascarjana IPB-Bogor
Hakim, I., dkk. 2010. Social Forestry : Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan – Kementerian Kehutanan R.I.
Ismail, R., 2011. Panduan Pengembangan Kebijakan REDD+ di Daerah Secara Partisipatif dan Multi Pihak : Belajar dari Pendekatan Partisipatif dan Multi Pihak yang Dikembangkan oleh UN-REDD Programme Indonesia. UN-REDD, FAO, UNDP dan UNEP bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan RI. 97p.
Samad, S. 2012. Efektifitas Program Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok Provinsi NTB : Studi Kasus pada Kawasan Hutan Lindung Sesaot Kabupaten Lombok Barat dan Kawasan Hutan Lindung Batukliang Lombok Utara. Tesis. Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering-Program Pascasarjana Universitas Mataram
Santosa, Andri dan Mangarah Silalahi. 2011. Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Bogor, Indonesia. 115p
Suhardjito, D., 2009. Devolusi Pengelolaan Hutan di Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina. JMHT Vol. XV, (3): 123–130, Desember 2009.
Suharjito, D. 1999. Hak-hak penguasaan atas tanah hutan di Indonesia. P3KM.CV. Dewi Sri Jaya. Bogor.
World Bank. 1994. Indonesia Enviroment and Development Changlenges for the future. Washington. D.C. World Bank.
Zaini, A. 2012. Studi Perencanaan dan Penganggaran PHBM di NTB. Laporan Hasil. Kemitraan Jakarta

 

Blogger news

Blogroll

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

About

Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×